Senin, 25 Juli 2016

MALEO , UPAYA PENYELAMATANNYA DI TAIMA YANG INDAH



Aliansi Penyelamatan Maleo

Burung Maleo (Macrocephalone Maleo) adalah burung endemik di Sulawesi, yang artinya hanya ada di Sulawesi dan tidak ada di tempat lain. Dahulunya Maleo tersebar di seluruh wilayah Sulawesi, namun karena kerusakan habitat dan pengambilan telur Maleo secara berlebihan telah menyebabkan populasi Maleo turun dengan sangat drastis. Dan hampir 90% benar-benar punah di daerah-daerah di Sulawesi.

Pengambilan telur burung Maleo bukanlah sebagai kebutuhan pokok, akan tetapi lebih kepada simbol barang mewah atau status. Kini, burung maleo terdaftar dalam kategori “terancam punah” oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature) dan CITES Appendix I. Burung maleo juga dilindungi oleh undang-undang Indonesia secara menyeluruh. Berburu, menangkap, membunuh, atau mengganggu Burung Maleo dewasa atau telurnya dapat dikenai hukuman pidana penjara hingga 5 tahun dan didenda hingga Rp 200 juta (UU No. 5/1990). Walaupun pengambilan telur tersebut melanggar hukum, namun hukum tersebut seringkali diabaikan.
Burung maleo mempunyai kebiasaan hidup seperti owa jawa, dimana mereka hidup berpasangan sehidup semati. Habitat utama mereka adalah hidup di dalam hutan , namun, waktu si betina sudah siap untuk bertelur, pasangan maleo itu berjalan kaki berkilo-kilo ke tempat bertelur komunal, yang biasanya terletak di pesisir pantai, atau di dekat mata air panas di dalam hutan.







Di area pesisir pantai ini pasangan maleo itu menggali lubang yang besar di dalam pasir atau tanah selama berjam-jam. Di dalam lubang tersebut, kemudian burung maleo betina menelurkan hanya satu butir telur saja yang sangat besar. Badan burung maleo seukuran ayam, sedangkan telur maleo besarnya sekitar enam kali lipat telur ayam.



Kalau sudah bertelur di dalam lubang, pasangan maleo itu menguruk telur tersebut dengan pasir dengan kedalaman yang mencapai kurang lebih 1 meter. Kemudian, mereka pulang kembali lagi ke hutan, sementara telur dibiarkan untuk dipanasi oleh matahari atau panas bumi. Kalau tidak diambil oleh masyarakat atau diganggu, sesudah 60-80 hari telur itu akan menetas di dalam pasir. Begitu menetas, anak maleo menggali selama 24-48 jam ke atas untuk mengirup udara segar di alam bebas. Sesudah beristirahat selama beberapa menit, anak maleo langsung terbang ke arah hutan, untuk hidup secara mandiri tanpa bantuan induknya.







Kemudian muncullah upaya perlindungan burung maleo di tempat bertelur maleo di dekat Desa Taima, Kab. Bualemo dimulai pada tahun 2006. Pada tanggal 1 Agustus 2006, sebuah upaya gabungan dibentuk untuk melancarkan konservasi burung maleo yang baru. Koalisi tersebut terdiri dari warga Desa Taima, MAPALA Iguana Tompotika, Yayasan Pemerhati Lingkungan yang berpusat di Luwuk, pihak pemerintah Kab. Banggai, beberapa ahli konservasi Indonesia dan internasional, serta sebuah rombongan pengunjung internasional. Upaya konservasi itu dimulai dengan masa percobaan 6 bulan. Selama periode itu, semua pihak sepakat bahwa pengambilan telur di tempat bertelur maleo tersebut harus dihentikan.
Upaya tersebut ternyata berhasil, sehingga kegiatan konservasi maleo di Taima berlanjut terus. Sementara itu,  koalisi tersebut berkembang menjadi kemitraan resmi antara masyarakat Taima, BKSDA Sulawesi Tengah, dan Yayasan AlTo (Aliansi Tompotika). Turunnya populasi maleo di sana sudah berhasil diperbaiki, dan sejak tahun 2006 jumlah burung maleo di sana meningkat terus. Proyek perlindungan maleo di Taima adalah satu-satunya proyek pelestarian maleo, di dunia, yang berhasil membuktikan peningkatan populasi maleo setempat. Upaya konservasi burung maleo AlTo sudah berkembang, termasuk Kampanye Konservasi Burung Maleo yang tersebarluas.
Upaya ini pun memberi peluang penghasilan kepada warga desa taima dengan menjadi pengawas tempat tersebut secara bergilir. Sebagai wujud terima kasih Alto memberikan bantuan kepada masyarakat Taima berupa bahan bangunan, perbaikan bangunan fasilitas umum hingga proyek air bersih, sehingga masyarakat yang tadinya kesulitan mendapatkan air bersih sekarang sangat terbantu. Selain itu juga memberi kebanggaan bagi masyarakat Taima, dengan didapatnya penghargaan “The Maleo award” dari Komunitas Konservasi internasional pada tahun 2010.

Mengunjungi Pantai Taima yang indah dan mengintip Maleo
Ketika berada di Kecamatan Bualemo, maka salah satu agenda bagi tim peneliti Ekspedisi NKRI Sulawesi adalah mengunjungi Taima dan mendapatkan data tentang Maleo, dan kebetulan di antar langsung oleh staf Alto. Tempat bertelur dan juga kawasan perlindungan Maleo berada dalam pengawasan alto dan masyarakat taima. Tempat ini dari jalan raya tidak terlihat sebagai kawasan penting, dan pondok penjagaan Alto berada dalam sebuah komplek dengan tempat bertelur Maleo. 






Berkunjung ke pondok penjagaan alto, merupakan sebuah kesempatan yang sangat luar biasa. Bertemu dengan para konservasionis yang berhari-hari bertugas jauh dari keramaian, ditempat terpencil. Disini hanya ada bangunan pondok tempat tinggal yang berupa rumah kayu, dan sebuah menara pengamatan, dengan area bertelur Maleo berada dihadapan menara pengamatan, sementara disisi lain adalah tempat perlindungan telur-telur penyu. Karena disinipun merupakan kawasan tepat penyu bertelur didaratan.





Untuk bisa menyaksikan Maleo bertelur, kita harus naik ke menara pengamatan dan harus bertahan cukup  lama untuk ,menunggu kedatangan Maleo dewasa yang berpasangan dari hutan kesana untuk bertelur dan menyembunyikan telurnya. Cukup lama penantian itu, terkadang satupun Maleo tidak terlihat seharian, terkadang sekaligus beberapa pasang secara bersamaan atau bergantian datang dan bertelur. Dan waktu-waktu yang merupakan masa bertelur sekitar bulan juni hingga desember, dimana bisa sekitar 50 pasang Maleo datang kesana.
Dan hal yang paling mengasikkan tentunya selain mengamati Maleo adalah menyaksikan anak-anak penyu dilepas berlarian menuju laut lepas. Menuju alam yang ganas, yang merupakan pertaruhan hidup atau mati buat anak-anak tanpa induk tersebut. 






Selain itu, menjelajahi kawasan pantai Taima tersebut pun adalah hal yang menyenangkan. Menyusuri pantai di hadapan pondok Alto, kemudian menembus hutan menjumpai pantai di sebaliknya. Menyaksikan matahari terbit di garis cakrawala,menikmati keindahan alam tanah banggai di desa Taima yang jauh dari keramaian. Tempat ini jaraknya sekitar 156 km dari pusat ibukota Luwuk Banggai. Sebuah perjalanan yang cukup jauh bagi kami dari camp ekspedisi yang berada di desa Salodik.











Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu penyelamatan Maleo?
Kita bisa membantu upaya konservasi maleo AlTo.

Menyumbang

Kita dapat  menyumbangkan dana untuk membantu biaya penjagaan dan memastikan bahwa jumlah burung maleo bisa tetap meningkat di Taima. Taima merupakan satu-satunya lokasi di dunia di mana peningkatan itu terjadi. Bantuan dana tersebut bisa menghubungi kontak dari Alto

Berkunjung

Bagi yang tertarik untuk berkunjung ke penangkaran Maleo tersebut , bisa meminta bantuan ke pemandu Maleo Tour, atau layanan tur lingkungan Alto, yang menggabungkan layanan tur ke tempat bertelur Maleo dangan berbagai layanan proyek lingkungan

Waspada!

Ingatlah: kalau suatu hari Anda menemukan telur maleo yang dijual, jangan beli atau makan telur itu! Dan juga, jangan coba memelihara burung maleo dewasa di dalam kandang–biasanya mereka akan mati. Pengambilan, pembelian, atau perdagangan telur atau produk maleo dilarang oleh hukum Indonesia, dan pelanggar dapat dikenai denda yang berat atau pidana penjara. Membawa produk maleo ke luar negeri juga dilarang.

Selamatkan Maleo!

  • Jangan mengambil, membeli atau makan telur maleo
  • Lestarikan hutan alami, yang diperlukan sebagai rumah burung maleo
(dari berbagai sumber, catatan Ekspedisi NKRI koridor sulawesi)