Senin, 02 Oktober 2017

UPACARA SEREN TAUN KA-649 KASEPUHAN CIPTAGELAR, BERTERIMAKASIH PADA PENCIPTA ALAM SEMESTA




Sudah sejak lama penasaran ingin tahu lebih jauh dan mendatangi Kampung Wisata Adat yang bernama Kasepuhan Ciptagelar. Hingga kesempatan itu datang tak terduga dari ajakan seorang senior yang sudah aku anggap orangtua aku sendiri. Beliau adalah abah Eng Yanto, salahsatu senior pencinta alam dan volunteer di Indonesia, yang juga adalah kerabat dekat dari keluarga ‘Imah Gede’ Kasepuhan Ciptagelar dan juga kasepuhan Ciptamulya. Dan kesempatan itu tiba bertepatan dengan acara tahunan yang sangat luar biasa yaitu Seren Taun yang kebetulan juga kali ini berjalan secara bersamaan pada kedua Kasepuhan tersebut.

Kasepuhan Ciptagelar merupakan bagian dari Kesatuan Adat Banten Kidul, masyarakat agraris yang tersebar meliputi Kabupaten Lebak, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Secara geografis, Kasepuhan Ciptagelar berada di perbatasan antara Provinsi Banten dan Jawa Barat, tepatnya di Dusun Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Ciptagelar merupakan satu dari beberapa kasepuhan yang ada di pegunungan Halimun. Kasepuhan lainnya yaitu Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Cibeduk. Kasepuhan Ciptagelar sendiri melingkupi dua Kasepuhan yang lain yaitu Kasepuhan Ciptamulya dan Kasepuhan Sinarresmi. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar sekitar 30.000 yang menempati sebanyak 568 desa yang tersebar di pegunungan Halimun.

Kasepuhan Ciptagelar dan Kasepuhan lainnya  adalah sebuah kampung adat dimana segala sesuatunya mengikuti adat serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh yang digunakan dengan awalan –ka- dan akhiran –an-. Dimana dalam bahasa Sunda kata sepuh berarti kolot atau tua. Maka berdasarkan pengertian ini munculnya istilah Kasepuhan yang berarti tempat tinggal para sesepuh dan tempat dimana masyarakat hidup berdasarkan adat kebiasaan para sesepuh atau adat yang telah lama (adat nenek moyang).


Perjalanan berawal dari kota Sukabumi menuju arah Palabuhan Ratu kemudian mengambil arah ke kanan yang memasuki perkebunan dan hutan pinus. Jalanan masih cukup bagus hingga memasuki perkampungan dimana jalanan mulai agak menyempit dan menanjak. Dikejauhan terlihat hamparan bebukitan dan kumpulan desa-desa yang terpisah-pisah jauh. Terlihat mulai banyak umbul-umbul dipinggiran jalan. Abah Eng membawa kami menyinggahi Kasepuhan Ciptamulya terlebih dahulu. Disini mulai terlihat keramaian dan persiapan-persiapan untuk acara Seren Taun yang bersamaan dengan Kasepuhan Ciptagelar. Panggung-panggung hiburan telah tertata rapi. Untuk mencapai Imah Gede harus melalui jalanan yang cukup hanya untuk satu mobil lebarnya dan jalanan tersebut menanjak berkelok-kelok diantara rumah-rumah dan kumpulan Leuit. Hingga akhirnya memasuki sebuah lapangan yang merupakan pelataran halaman Imah Gede tempat pemimpin adat Kasepuhan Ciptamulya berada.

Memasuki Imah Gede Kasepuhan Ciptamulya terlihat banyak tamu yang memenuhi ruangan depan. Di meja makan telah tersedia hidangan untuk para tamu. Kami dibawa masuk ke dalam oleh abah Eng, langsung keruangan keluarga dimana Emak (sebutan untuk istri Abah, pemimpin adat kasepuhan) dan Emak sepuh berada. Dihadapan kami dihidangkan berbagai macam makanan tradisional khas setempat.

Sementara itu di ruangan dapur yang sangat luas terlihat kesibukan Barisan Bikang atau par ibu-ibu yang memasak terus menerus secara bergantian untuk menjamu tamu-tamu yang datang untuk menyaksikan acara Seren Taun yang akan dilaksanakan bersamaan dengan di Kasepuhan Ciptagelar. Kami pun sempat berbincang-bincang di dapur dengan Emak Alit dan Emak sepuh tentang berbagai hal menyangkut acara Seren Taun tersebut.  Setelah itu menuju salah satu rumah yang merupakan rumah kerabat dari keluarga Imah Gede. Rumah yang terbuat dari kayu dan bilik bambu tersebut sangat sederhana dan nyaman. Dapurnya pun sama dengan rumah-rumah yang lainnya yang masih menggunakan tungku perapian untuk memasak apapun.




Malam hari kami kembali mengunjungi Imah Gede dan menjumpai Abah Hendrik dan sempat berphoto dengan beliau diruangannya bersama Emak Alit. Abah Hendrik menerima dengan sangat ramah dan sempat bercanda. Sementara itu di luar mulai ramai oleh hiburan-hiburan dan semakin ramai menjelang malam. Sementara kami kembali kerumah dan beristirahat karena besok paginya akan meneruskan perjalanan ke Kasepuhan Ciptagelar.
 




Pagi masih berkabut ketika perjalanan dimulai dan meninggalkan Kasepuhan Ciptamulya. Kesibukan tetap terlihat hingga ke jalan-jalan. Sesaat kemudian kasepuhan Ciptamulya pun tertinggal jauh dibelakang. Untuk mencapai Kasepuhan Ciptagelar menempuh jalur berkelok-kelok di pegunungan Halimun, dengan jalanan yang tidak bisa dikatakan bagus. Melewati sawah dan ladang. Sesekali terlihat kumpulan rumah-rumah dan leuit di desa-desa yang letaknya berjauhan dibebukitan. Dan Kasepuhan Ciptagelar masih berada dibalik bukit yang terlihat dikejauhan. Namun sepanjang jalan mulai terlihat tanda-tanda perhelatan akan digelar disana. Masyarakat kasepuhan berpakaian hitam-hitam terlihat lalu lalang dengan motor, begitu juga beberapa kendaraan para tamu yang ingin berkunjung.



Memasuki Kampung Ciptagelar terlihat tanda-tanda dan kesibukan mempersiapkan acara Seren Taun. Sebelum menuju Imah Gede tempat yang menjadi pusat kegiatan Abah Eng membawa kami menyinggahi rumah besar lainnya tempat Emak Ageng berada. Kesibukanpun terlihat disini, dapur yang dipenuhi ibu-ibu yang sedang memasak untuk menjamu tamu-tamu yang datang. Penganan-penganan tradisional kembali dijumpai disini, begitu juga masakan tradisional khas kasepuhan ciptagelar. Salahsatunya adalah wajit yang dikemas dalam bungkus daun yang berasa dan beraromakan jahe yang terasa nikmat dilidah. Setelah sempat makan siang, kami meninggalkan rumah Emak Ageng menuju tempat dimana Imah Gede berada.




Acara Seren Taun adalah upacara penyerahan sedekah hasil panen padi selama setahun, dimana Seren berarti seserahan atau menyerahkan dan Taun berarti tahun. Upacara penyerahan hasil panen padi ini dengan maksud memohon berkah kepada Tuhan agar hasil panen berikutnya lebih baik. Masyarakat adat kasepuhan sebagai masyarakat agraris secara turun temurun menanam padi menggunakan sistem lahan kering atau padi huma maupun sawah. Dalam setahun masyarakat adat kasepuhan hanya sekali menanam padi, karena mereka percaya alam butuh keseimbangan. Sehingga setelah panen padi, maka lahan akan dibiarkan istirahat sebelum digarap dan ditanamin kembali agar menjadi kembali subur. Hal yang patut diteladani adalah masyarakat adat kasepuhan mereka tidak memperjualbelikan padi dan pantangan membuang nasi. Meski hanya panen hanya sekali namun mereka tidak pernah kekurangan padi.

Sementara itu Imah gede sudah ramai dipenuhi oleh tamu yang berasal dari segala penjuru. Tidak usah takut kelaparan jika menghadiri acara Seren Taun ini, karena mereka tidak akan ,membiarkan ada tamu yang kelaparan. Makanan selalu tersedia di meja makan dan penganan kecil selalu tersedia juga di meja-meja kecil tempat menjamu tamu. Untuk acara ini Barisan Bikang atau para ibu-ibu secara bergiliran terus menerus masak sejak beberapa hari sebelum pelaksanaan. Bisa bayangkan berapa ekor kerbau yang dipotong, ayam , bumbu dan bahan makanan lain yang disiapkan. Uniknya penganan tradisional yang disediakan adalah berbagai jenis penganan yang berasal dari beras dan tepung. Seluruh persiapan acara ini merupakan hasil swadaya dan iuran kolektif masyarakat adat kasepuhan yang dikumpulkan oleh barisan Kolot dari 568 kampung yang termasuk di kasepuhan Ciptagelar.

Di luar Imah Gede sekitar tujuh panggung disiapkan, dimana masing-masing panggung ada hiburan yang berbeda yang  bisa disaksikan oleh para pengunjung, seperti jaipong dangdut, wayang golek, dogdor lojor, dan lain-lain secara bersamaan, sehingga pengunjung bisa memilih sendiri hiburan yang ingin disaksikannya. Sementara di luar semakin ramai, kami menemui Emak Alit di dapur. Abah Ugi sendiri baru bisa ditemui malam harinya di ruangannya. Abah ugi Sugriana Rakasiwi adalah pimpinan masyarakat adat kasepuhan Ciptagelar, anak dari pimpinan sebelumnya yaitu Abah Anom. Meski masih sangat muda saat diangkat tahun 2007, namun seluruh masyarakat adat kasepuhan menghormatinya sebagai pmpinan adat.





Pagi sesaat sebelum upacara Seren Taun dimulai kami sudah menempati posisi di teras depan Imah Gede. Dari sini semua akan terlihat dengan jelas jalannya upacara. Beberapa tamu undangan sudah menempati tempat duduknya di depan kami. Kemudian ternyata hadir juga undangan dari raja-raja Nusantara seperti Raja Sumatera utara, sultan Demak dan lain-lain. Mereka duduk sejajar dibarisan paling depan bersama keluarga inti Kasepuhan , Abah Ugi dan istrinya serta saudara-saudaranya.

Upacara dimulai dengan masuknya barisan para kolot di lapangan dan mengisi tempat sekeliling lapangan di depan panggung. Sementara itu sekeliling lapangan pun telah dipenuhi masyarakat, pengunjung dan para pemburu photo dan jurnalis. Kemudian muncul para jawara debus yang akan mempertunjukan kebolehannya. Pertunjukan ini agak menyeramkan dengan diperlihatkannya kekebalan tubuh mereka yang tidak mempan di silet-silet ataupun di iris-iris dengan golok dan semacamnya. Ketika salahsatu jawara di telentangkan tepat dihadapan keluarga kasepuhan dan tamu raja-raja nusantara, terlihat Emak alit yang berusaha memalingkan muka dan menutupinya dengan tangan, karena mungkin merasa tidak kuat melihatnya.

Selanjutnya diiringi musik tradisional masuklah barisan perwakilan masyarakat adat kasepuhan Ciptagelar dengan membawa padi yang disusun dan disebut pocong dengan sebuah bambu. Iringan musik dan irama pergerakan mereka membawa padi tersebut sangat menarik dan menyenangkan dilihat. Kemudian Abah Ugi dan Emak Alit juga keluarga inti kasepuhan menuju Leuit Jimat (lumbung keramat), di awali dengan doa dan renungan, kemudian Abah dan EmakAlit menaiki tangga lumbung dan masuk kedalamnya. Ini adalah puncak dari acara Seren Taun yaitu Ngadieuken pare , memasukan sepocong pare induk/induk padi ke dalam Leuit Jimat. Setelah abah dan Emak keluar dari Leuit Jimat, padi yang digotong dan dibawa tadi semuanya dimasukkan ke dalamnya. Selanjutnya semua menuju aula untuk mengikuti acara pertanggungjawaban yang intinya melepas dan mencukupkan tahun yang sudah-sudah dan memikirkan apa yang akan dilakukan tahun mendatang. Di barengi juga musyawarah bersama barisan kolot dan dihadiri oleh tamu Raja-raja Nusantara. Dengan demikian acara Seren Taun sudah selesai.

Adat dan cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat adat kasepuhan memberi banyak pelajaran bagi kita tentang kearifan lokal bagaimana mereka bisa menciptakan ketahanan pangan. Bertahan pada cara-cara kolot atau tua bukan berarti kuno atau tertinggal, tetapi mereka menciptakan keselarasan dan keseimbangan hidup di dalam tatanan hidup mereka sehari-hari. Meskipun pada akhirnya mengenal modernisasi melalui barang-barang elektronik, namun hal-hal lainnya tetap bertahan sampai kapanpun.