Sudah
sejak lama penasaran ingin tahu lebih jauh dan mendatangi Kampung Wisata Adat
yang bernama Kasepuhan Ciptagelar. Hingga kesempatan itu datang tak terduga
dari ajakan seorang senior yang sudah aku anggap orangtua aku sendiri. Beliau
adalah abah Eng Yanto, salahsatu senior pencinta alam dan volunteer di
Indonesia, yang juga adalah kerabat dekat dari keluarga ‘Imah Gede’ Kasepuhan
Ciptagelar dan juga kasepuhan Ciptamulya. Dan kesempatan itu tiba bertepatan
dengan acara tahunan yang sangat luar biasa yaitu Seren Taun yang kebetulan
juga kali ini berjalan secara bersamaan pada kedua Kasepuhan tersebut.
Kasepuhan Ciptagelar merupakan bagian dari Kesatuan
Adat Banten Kidul, masyarakat agraris yang tersebar meliputi Kabupaten Lebak,
Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Sukabumi. Secara geografis, Kasepuhan Ciptagelar
berada di perbatasan antara Provinsi Banten dan Jawa Barat, tepatnya di Dusun
Sukamulya, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Ciptagelar merupakan satu dari beberapa kasepuhan yang
ada di pegunungan Halimun. Kasepuhan lainnya yaitu Kasepuhan Cisungsang,
Kasepuhan Cisitu, Kasepuhan Cicarucub, Kasepuhan Citorek dan Kasepuhan Cibeduk.
Kasepuhan Ciptagelar sendiri melingkupi dua Kasepuhan yang lain yaitu Kasepuhan
Ciptamulya dan Kasepuhan Sinarresmi. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar
sekitar 30.000 yang menempati sebanyak 568 desa yang tersebar di pegunungan
Halimun.
Kasepuhan Ciptagelar dan Kasepuhan lainnya adalah sebuah kampung adat dimana segala
sesuatunya mengikuti adat serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh
masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut
masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh yang digunakan
dengan awalan –ka- dan akhiran –an-. Dimana dalam bahasa Sunda kata sepuh
berarti kolot atau tua. Maka berdasarkan pengertian ini munculnya istilah
Kasepuhan yang berarti tempat tinggal para sesepuh dan tempat dimana masyarakat
hidup berdasarkan adat kebiasaan para sesepuh atau adat yang telah lama (adat
nenek moyang).
Perjalanan berawal dari kota Sukabumi menuju arah
Palabuhan Ratu kemudian mengambil arah ke kanan yang memasuki perkebunan dan
hutan pinus. Jalanan masih cukup bagus hingga memasuki perkampungan dimana
jalanan mulai agak menyempit dan menanjak. Dikejauhan terlihat hamparan
bebukitan dan kumpulan desa-desa yang terpisah-pisah jauh. Terlihat mulai
banyak umbul-umbul dipinggiran jalan. Abah Eng membawa kami menyinggahi
Kasepuhan Ciptamulya terlebih dahulu. Disini mulai terlihat keramaian dan
persiapan-persiapan untuk acara Seren Taun yang bersamaan dengan Kasepuhan
Ciptagelar. Panggung-panggung hiburan telah tertata rapi. Untuk mencapai Imah
Gede harus melalui jalanan yang cukup hanya untuk satu mobil lebarnya dan
jalanan tersebut menanjak berkelok-kelok diantara rumah-rumah dan kumpulan
Leuit. Hingga akhirnya memasuki sebuah lapangan yang merupakan pelataran
halaman Imah Gede tempat pemimpin adat Kasepuhan Ciptamulya berada.
Memasuki Imah Gede Kasepuhan Ciptamulya terlihat
banyak tamu yang memenuhi ruangan depan. Di meja makan telah tersedia hidangan
untuk para tamu. Kami dibawa masuk ke dalam oleh abah Eng, langsung keruangan
keluarga dimana Emak (sebutan untuk istri Abah, pemimpin adat kasepuhan) dan
Emak sepuh berada. Dihadapan kami dihidangkan berbagai macam makanan
tradisional khas setempat.
Sementara itu di ruangan dapur yang sangat luas
terlihat kesibukan Barisan Bikang atau par ibu-ibu yang memasak terus menerus
secara bergantian untuk menjamu tamu-tamu yang datang untuk menyaksikan acara
Seren Taun yang akan dilaksanakan bersamaan dengan di Kasepuhan Ciptagelar.
Kami pun sempat berbincang-bincang di dapur dengan Emak Alit dan Emak sepuh
tentang berbagai hal menyangkut acara Seren Taun tersebut. Setelah itu menuju salah satu rumah yang
merupakan rumah kerabat dari keluarga Imah Gede. Rumah yang terbuat dari kayu
dan bilik bambu tersebut sangat sederhana dan nyaman. Dapurnya pun sama dengan
rumah-rumah yang lainnya yang masih menggunakan tungku perapian untuk memasak
apapun.
Malam hari kami kembali mengunjungi Imah Gede dan
menjumpai Abah Hendrik dan sempat berphoto dengan beliau diruangannya bersama
Emak Alit. Abah Hendrik menerima dengan sangat ramah dan sempat bercanda. Sementara
itu di luar mulai ramai oleh hiburan-hiburan dan semakin ramai menjelang malam.
Sementara kami kembali kerumah dan beristirahat karena besok paginya akan
meneruskan perjalanan ke Kasepuhan Ciptagelar.
Pagi masih berkabut ketika perjalanan dimulai dan
meninggalkan Kasepuhan Ciptamulya. Kesibukan tetap terlihat hingga ke
jalan-jalan. Sesaat kemudian kasepuhan Ciptamulya pun tertinggal jauh
dibelakang. Untuk mencapai Kasepuhan Ciptagelar menempuh jalur berkelok-kelok
di pegunungan Halimun, dengan jalanan yang tidak bisa dikatakan bagus. Melewati
sawah dan ladang. Sesekali terlihat kumpulan rumah-rumah dan leuit di desa-desa
yang letaknya berjauhan dibebukitan. Dan Kasepuhan Ciptagelar masih berada
dibalik bukit yang terlihat dikejauhan. Namun sepanjang jalan mulai terlihat
tanda-tanda perhelatan akan digelar disana. Masyarakat kasepuhan berpakaian
hitam-hitam terlihat lalu lalang dengan motor, begitu juga beberapa kendaraan para
tamu yang ingin berkunjung.
Memasuki Kampung Ciptagelar terlihat tanda-tanda dan
kesibukan mempersiapkan acara Seren Taun. Sebelum menuju Imah Gede tempat yang
menjadi pusat kegiatan Abah Eng membawa kami menyinggahi rumah besar lainnya
tempat Emak Ageng berada. Kesibukanpun terlihat disini, dapur yang dipenuhi
ibu-ibu yang sedang memasak untuk menjamu tamu-tamu yang datang. Penganan-penganan
tradisional kembali dijumpai disini, begitu juga masakan tradisional khas
kasepuhan ciptagelar. Salahsatunya adalah wajit yang dikemas dalam bungkus daun
yang berasa dan beraromakan jahe yang terasa nikmat dilidah. Setelah sempat
makan siang, kami meninggalkan rumah Emak Ageng menuju tempat dimana Imah Gede
berada.
Acara Seren Taun adalah upacara penyerahan sedekah
hasil panen padi selama setahun, dimana Seren berarti seserahan atau
menyerahkan dan Taun berarti tahun. Upacara penyerahan hasil panen padi ini
dengan maksud memohon berkah kepada Tuhan agar hasil panen berikutnya lebih
baik. Masyarakat adat kasepuhan sebagai masyarakat agraris secara turun temurun
menanam padi menggunakan sistem lahan kering atau padi huma maupun sawah. Dalam
setahun masyarakat adat kasepuhan hanya sekali menanam padi, karena mereka
percaya alam butuh keseimbangan. Sehingga setelah panen padi, maka lahan akan
dibiarkan istirahat sebelum digarap dan ditanamin kembali agar menjadi kembali
subur. Hal yang patut diteladani adalah masyarakat adat kasepuhan mereka tidak
memperjualbelikan padi dan pantangan membuang nasi. Meski hanya panen hanya
sekali namun mereka tidak pernah kekurangan padi.
Sementara itu Imah gede sudah ramai dipenuhi oleh tamu
yang berasal dari segala penjuru. Tidak usah takut kelaparan jika menghadiri
acara Seren Taun ini, karena mereka tidak akan ,membiarkan ada tamu yang
kelaparan. Makanan selalu tersedia di meja makan dan penganan kecil selalu
tersedia juga di meja-meja kecil tempat menjamu tamu. Untuk acara ini Barisan
Bikang atau para ibu-ibu secara bergiliran terus menerus masak sejak beberapa
hari sebelum pelaksanaan. Bisa bayangkan berapa ekor kerbau yang dipotong, ayam
, bumbu dan bahan makanan lain yang disiapkan. Uniknya penganan tradisional
yang disediakan adalah berbagai jenis penganan yang berasal dari beras dan
tepung. Seluruh persiapan acara ini merupakan hasil swadaya dan iuran kolektif
masyarakat adat kasepuhan yang dikumpulkan oleh barisan Kolot dari 568 kampung
yang termasuk di kasepuhan Ciptagelar.
Di luar Imah Gede sekitar tujuh panggung disiapkan,
dimana masing-masing panggung ada hiburan yang berbeda yang bisa disaksikan oleh para pengunjung, seperti jaipong
dangdut, wayang golek, dogdor lojor, dan lain-lain secara bersamaan, sehingga
pengunjung bisa memilih sendiri hiburan yang ingin disaksikannya. Sementara di
luar semakin ramai, kami menemui Emak Alit di dapur. Abah Ugi sendiri baru bisa
ditemui malam harinya di ruangannya. Abah ugi Sugriana Rakasiwi adalah pimpinan
masyarakat adat kasepuhan Ciptagelar, anak dari pimpinan sebelumnya yaitu Abah
Anom. Meski masih sangat muda saat diangkat tahun 2007, namun seluruh
masyarakat adat kasepuhan menghormatinya sebagai pmpinan adat.
Pagi sesaat sebelum upacara Seren Taun dimulai kami
sudah menempati posisi di teras depan Imah Gede. Dari sini semua akan terlihat
dengan jelas jalannya upacara. Beberapa tamu undangan sudah menempati tempat
duduknya di depan kami. Kemudian ternyata hadir juga undangan dari raja-raja
Nusantara seperti Raja Sumatera utara, sultan Demak dan lain-lain. Mereka duduk
sejajar dibarisan paling depan bersama keluarga inti Kasepuhan , Abah Ugi dan
istrinya serta saudara-saudaranya.
Upacara dimulai dengan masuknya barisan para kolot di
lapangan dan mengisi tempat sekeliling lapangan di depan panggung. Sementara itu
sekeliling lapangan pun telah dipenuhi masyarakat, pengunjung dan para pemburu
photo dan jurnalis. Kemudian muncul para jawara debus yang akan mempertunjukan
kebolehannya. Pertunjukan ini agak menyeramkan dengan diperlihatkannya
kekebalan tubuh mereka yang tidak mempan di silet-silet ataupun di iris-iris
dengan golok dan semacamnya. Ketika salahsatu jawara di telentangkan tepat
dihadapan keluarga kasepuhan dan tamu raja-raja nusantara, terlihat Emak alit
yang berusaha memalingkan muka dan menutupinya dengan tangan, karena mungkin
merasa tidak kuat melihatnya.
Selanjutnya diiringi musik tradisional masuklah
barisan perwakilan masyarakat adat kasepuhan Ciptagelar dengan membawa padi
yang disusun dan disebut pocong dengan sebuah bambu. Iringan musik dan irama
pergerakan mereka membawa padi tersebut sangat menarik dan menyenangkan
dilihat. Kemudian Abah Ugi dan Emak Alit juga keluarga inti kasepuhan menuju
Leuit Jimat (lumbung keramat), di awali dengan doa dan renungan, kemudian Abah
dan EmakAlit menaiki tangga lumbung dan masuk kedalamnya. Ini adalah puncak
dari acara Seren Taun yaitu Ngadieuken pare , memasukan sepocong pare
induk/induk padi ke dalam Leuit Jimat. Setelah abah dan Emak keluar dari Leuit
Jimat, padi yang digotong dan dibawa tadi semuanya dimasukkan ke dalamnya. Selanjutnya
semua menuju aula untuk mengikuti acara pertanggungjawaban yang intinya melepas
dan mencukupkan tahun yang sudah-sudah dan memikirkan apa yang akan dilakukan
tahun mendatang. Di barengi juga musyawarah bersama barisan kolot dan dihadiri
oleh tamu Raja-raja Nusantara. Dengan demikian acara Seren Taun sudah selesai.
Adat dan cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat adat
kasepuhan memberi banyak pelajaran bagi kita tentang kearifan lokal bagaimana
mereka bisa menciptakan ketahanan pangan. Bertahan pada cara-cara kolot atau
tua bukan berarti kuno atau tertinggal, tetapi mereka menciptakan keselarasan
dan keseimbangan hidup di dalam tatanan hidup mereka sehari-hari. Meskipun pada
akhirnya mengenal modernisasi melalui barang-barang elektronik, namun hal-hal
lainnya tetap bertahan sampai kapanpun.