Belasan
kali sudah gagal untuk mendaki Gunung Argopuro di Dataran tinggi Yang, Jawa
Timur. Puncak terakhir Pulau jawa yang ingin aku singgahi dan tuntaskan sejak
12 tahun yang lalu. Entah kenapa selalu saja keberangkatan dan rencana ke sana
menghadapi kendala dan banyak rintangan, bahkan ketika sudah berada di
Bondowoso. Hingga di bulan Mei 2016 yang lalu, berkunjung ke Surabaya
mengunjungi saudara-saudaraku Garuda Nusantara timur, salah seorang diantaranya bersedia
mengantarkan dan menemaniku.
Waktu
dan segalanya amat sangat diperhitungkan oleh mas Kinthok seniorku di Garuda
Nusantara yang akan mengantarkanku, sebagaimana kebiasaan dalam sebuah medan
operasi. Aku yang tadinya hanya ingin menyinggahi Taman Hidup akhirnya
mengikuti rencana perjalanan yang dibuatnya tanpa banyak bicara. Berangkat dari
‘gubuk’ , rumah mas Kenthank kami diantar oleh mas Kenthank, om Anam dan Vivi
salah seorang sahabat Srikandi Nusantara Jatim ke terminal Bungur pada pukul
00.00 wib. Dengan perkiraan bis berangkat dari Bungur jam 02.00, sampai di Besuki
subuh, dan langsung melanjutkan ke baderan, sehingga bisa memulai pendakian
pada pagi hari.
Sepanjang
perjalanan Surabaya – Situbondo, aku tak banyak bicara dengan seniorku. Aku
lebih banyak membayangkan seperti apa Gunung Argopuro yang penuh misteri itu.
Entah kenapa aku tidak menargetkan Puncak Rengganis sebagai tujuan. Hanya
mengikuti rencana perjalanan yang dibuat . Banyak cerita tentang Argopuro yang
melintas dalam pikiranku, dan tentunya tentang kisah Dewi Rengganis dan Cikasur
yang penuh misteri.
Gunung
Argopuro yang berada di dalam wilayah Dataran Tinggi Yang adalah tempat situs
purbakala tertinggi di Jawa. Kisah Dewi Rengganis sangat melegenda dengan
kawasan puncak yang dipenuhi situs seperti peninggalan bangunan kerajaan jaman
dahulu. Konon Dewi Rengganis adalah putri dari Raja Brawijaya yang
keberadaannya tidak diakui, namun sangat disayang dan di khawatirkan akan
menjadi penguasa atau pewaris kekuasaan. Untuk itu dia diasingkan ke Gunung
Argopuro bersama seorang Patih dan pengikut setianya. Dibangunkanlah sebuah
kerajaan untuknya di Argopuro, dan mereka mendiami tempat itu selamanya. Kisah lain adalah Dewi Rengganis adalah putri
seorang raja yang menjadi pertapa di puncak Argopuro, dan sebagai pertapa juga
Dewi Rengganis memiliki ilmu tingkat tinggi. Tidak ada yang tahu dan bisa
membuktikan kebenaran kisah tersebut, namun situs-situ kerajaan tersebut
benar-benar ada dan berupa bangunan kompleks kerajaan yaitu kolam renang dan
taman sari, situs puncak rengganis, 2 bangunan candi dan tiga bangunan pura.
Itu yang aku pernah baca. Entah aku akan menemukannya atau tidak dalam
perjalanan ini.
Cerita
lainnya adalah tentang Lembah Cikasur yang merupakan padang savana terluas di
Argopuro. Disini dahulu dibangun sebuah landasan pesawat terbang pada jaman
belanda. Konon katanya pun ada bukti berupa sebuah genset tua yang berada
disalahsatu sudut landasan tersembunyi dibalik semak belukar. Dengan tulisan
tahun 1912 di badannya membuktikan tahun pembuatannya pada masa penjajahan
Belanda. Landasan itu berupa lapangan terbuka yang dipenuhi ilalang dan
dinamakan Lembah cikasur ladang pembantaian (The Killing Field). Landasan ini
pada awalnya dikerjakan oleh beberapa peerja yang dibayar, yang kemudian
dipaksa mengajak penduduk lainnya dalam pembangunannya. Setelah pembangunan
selesai, para pekerja tidak dibayar dan tidak boleh meninggalkan tempat
tersebut. Kemudian mereka dipaksa membuat galian panjang untuk saluran air.
Saat galian selesai beberapa truk terbuka beserta serdadu Belanda bersenjata
lengkap mendekati dan menberondongi peluru ke arah pekerja. Galian itu ternyata
sengaja dibuat untuk megubur mereka gar lokasi landasan tersebut tidak bocor
dan diketahui oleh para pejuang. Landasan ini sempat juga dikuasai oleh tentara
jepang hingga akhirnya dikuasai oleh Tni sebelum kemerdekaan. Kemudian
ditinggalkan dan dilupakan begitu saja karena tempatnya yang sangat jauh.
Bis
yang kami tumpangi sampai di Besuki sekitar pukul 05.20. Turun di perempatan
Pos Polisi Besuki, kami langsung ke Mushola dibelakang Pos Polisi. Menurut mas
Kinthok ada angkutan yang ke baderan, tapi hanya satu kali pagi dan sore.
Setelah agak terang, kami menuju ke perempatan jalan untuk menunggu angkutan tersebut.
Beberapa ojek menawarkan jasanya , dan aku berusaha memperkirakan dan
membandingkan. Dengan perkiraan akan lebih cepat sampai dan lebih pagi juga
memulai pendakian, kami akhirnya menggunakan ojek yang ditawarkan dengan harga
yang tidak terlalu mahal, Rp.35.000 untuk jarak tempuh yang cukup jauh ke
Baderan. Aku menikmati udara segar pegunungan selama perjalanan, sekaligus
orientasi medan. Berusaha ,mencari mana puncak Argopuro tersebut, tetapi aku
tidak menemukannya selain dataran tinggi dengan bebukitan .
Tiba
di pos jaga Gunung Argopuro kami langsung melapor ke kantornya. Dan aku
terkaget-kaget dengan harga tiket masuk gunung Argopuro. Perorang dengan
standar perjalanan dihitung 4 malam dikenakan Rp. 90.000 dan Rp.20.000 pertim
untuk kebersihan. Setelah mengurus
simaksi, kami meninggalkan barang-barang di pos, dan turun ke warung untuk
sarapan. Masih pagi, sehingga tidak perlu terburu-buru. Target yang ditetapkan
oleh mas kinthok hari ini adalah Pos mata air 1. Sebelum kami, ada 3 tim yang
sudah jalan dari malam dan pagi sekali. Hal ini agak melegakan, setidaknya
masih ada pendaki lain di atas.
Hal
yang membuat perjalanan ke argopuro menyebalkan adalah adanya jalur motor trail
dan ojek sampai ke cikasur . tapi kami juga memanfaatkan itu untuk mencapai
perbatasan sebelum menuju pos mata air 1. Dengan harga Rp.35.000 lumayan jauh
dan berat jalur yang ditempuh. Membayangkan jalan kaki pun rasanya enggan
menempuh jalur setapak berbatu itu. Dari perbatasan kami memulai pendakian
sekitar pukul 09.45 menuju pos Mata air 1. Menurut mas Kinthok jarak yang
ditempuh cukup jauh. Tapi aku katakan kalo bisa kita mengejar ke pos Mata air 2
saja, agar perjalanan besok tidak terlalu jauh.
Jalur
yang ditempuh sangat menyebalkan, dengan jalan setapak yang dibuat dalam
ditengahnya untuk jalur motor, sehingga nyaris kita tidak bisa menempuh jalan
biasa. Terpaksa melangkah satu-satu dijalur motor tersebut. Aku pelan-pelan
melangkahkan kaki, sambil mengatur nafas, dan menemukan irama yang pas untuk
melakukan latihan endurance-ku. Di perjalanan kami bertemu dengan tim dari
Bandung, dan melanjutkan perjalanan bersama. Sayang mereka akhirnya tertinggal
jauh ketika kami mencapai pos Mata air 1. Sejenak istirahat dan masak mie untuk
penghangat dan pengisi perut yang tidak sempat untuk makan siang. Setelah cukup
istirahat, kami meneruskan perjalanan. Aku merasakan pendakian ini terasa
sangat panjang. Tapi ternyata sekitar pukul 15.30 kami sudah sampai di pos Mata
air 2. Disini bertemu dengan 4 orang
pendaki dari Surabaya yang akan melanjutkan perjalanan ke cikasur. Walau masih
cukup siang namun mas Kinthok tetap memutuskan untuk camp disana. Karena untuk
mencapai tempat camp berikutnya sangat jauh dan bisa-bisa malam baru sampai.
Tim Bandungpun camp bersama kami di Mata air 2.
Memasak makan malam dan jam 21.00 pun kami selesai makan dan istirahat.
Entah jam berapa aku terjaga oleh suara bising motor trail yang lewat dijalur
yang berada tepat di atas tenda kami. Dalam hati aku mengumpat, ini gunung atau
area trek-trekan ya. Rasanya tidak rela mendengar suara motor di atas
ketinggian seperti ini. Dan ternyata mas Kinthok yang sebelumnya baru turun
dari Semeru, tertidur pulas, tidak terganggu sama sekali oleh suara bising
tersebut.
Pukul
05.00 aku sudah terjaga dan membuat susu coklat. Setengah jam kemudian keluar
menunggu matahari terbit. Sayang sekali sekeliling pos mata air 2 tertutup oleh
cemara-cemara tinggi sehingga agak sulit mencari sudut yang bagus. Dan aku
harus puas dengan pemandangan matahari terbit dari balik pepohonan cemara.
Tepat
pukul 08.00 kami sudah selesai berkemas dan packing. Berpamitan dengan tim
Bandung yang berencana hanya akan mencapai Cikasur hari ini dan camp disana.
Dari Mata air 2 jalur mulai menanjak dan masih tetap sama menapaki satu-satu
jalur motor yang benar-benar mempersulit langkah. Aku tetap dengan irama
endurance-ku, sesekali benar-benar berhenti untuk memberi kesempatan pada mas
Kinthok untuk beristirahat. Memasuki savana, aku merasa seperti masuk ke dunia
lain. Sebatang pohon besar tumbuh ditengah-tengah padang ilalang menciptakan
sebuah lukisan Tuhan yang Maha Sempurna. Sesaat saja disitu, kami meneruskan
langkah menuju Cikasur. Dan masih sangat panjang perjalanan itu. Benar kata
teman-teman yang sudah pernah menginjakkan kaki ke Argopuro, belajar sabar,
mendakilah ke Argopuro. Dan itu benar-benar aku rasakan. Ingin menikmati
perjalanan dengan musik ditelinga, tapi aku lebih memilih melangkah dalam diam.
Sesekali bertanya pada mas Kinthok berapa lama lagi dan seperti biasanya hanya
dijawab sebentar lagi juga sampai. Aku menikmati saja setiap jalur dan medan
yang kami lalui, dan akhirnya sekitar pukul 11.10 kami sampai di sungai yang
berada dilembah cikasur. Disini kembali bertemu tim dari surabaya yang ternyata
kemalaman dan tidak bisa mencapai cikasur semalam.
Setelah
mengambil dan mengisi air langsung di sungai cikasur yang sangat bening dan
jernih, kami menuju pos cikasur di atasnya. Selada air tumbuh subur disisi-sisi
aliran sungai. Aku berharap sungai ini akan tetap terjaga selamanya oleh para
pendaki ataupun penduduk yang datang kesana. Dan aku takjub begitu mencapai pos
Cikasur yang ,hanya tinggal pondasi dan atap. Hamparan padang savana luas ada
di depan mata, dengan pepohonan pinus dikejauhan dan langit biru serta
awan-awan putih mewarnai lukisan Yang Maha. Aku melangkah menuju sebuah pohon
besar ditengah savana, mengambil beberapa gambar. Entah kenapa tidak berani
melangkah lebih jauh lagi, aku kembali ke pos, kemudian mengeluarkan trangia
untuk memasak. Siang ini kami makan siang dengan nasi dan mie serta abon, menu
praktis dan tidak perlu banyak waktu untuk mengolahnya. Sementara itu
teman-teman dari surabaya sudah di pos, dan berencana akan melakukan perjalanan
bersama menuju cisentor.
Sekitar
pukul 14.00 ketika sinar matahari sudah mulai cukup redup kami mulai bergerak
meninggalkan Cikasur. Diawali dengan jalur yang menanjak, cukup panjang dan
kembali memasuki padang savana. Aku sebetulnya cukup sulit buat berorientasi,
mengira-ngira dimana titik awal pendakian, dimana puncak argopuro yang
sesungguhnya. Jalur yang ditempuh cukup jauh dan berputar-putar. Masuk ke hutan
cemara kemudian keluar lagi ke padang savana berikutnya, seperti tiada
ujungnya. Teman-teman surabaya mulai tertinggal dibelakang, dan ketika melewati
sebuah padang savana lagi, mas kinthok mengatakan bahwa sebaiknya melewati
jalur itu jangan sampai kemalaman. Kami bergegas melanjutkan perjalanan ke
Cisentor. Menempuh jalur yang mulai menurun, aku benar-benar jatuh cinta dengan
belantara Argopuro. Menyusuri lerengan dimana didepan adalah lembahan dan
jurang yang penuh hamparan batu-batu dan tumbuhan yang indah, sementara sebelah
kanan jalur tebing-tebing dan bebatuan menghiasi dinding-dindingnya. Seperti
memasuki sebuah dunia lain, dan entah kenapa aku merasa berada dalam hutan dan
kerajaan milik kaum Elf dalam film The Lord of The Ring.
Semakin
menurun, dan sebuah sungai terhampar dibawah. Inilah Cisentor, dimana kami akan
bermalam hari ini sebelum melanjutkan lagi perjalanan. Sepertinya satu tim
pendaki lagi tidak bermalam disitu, kemungkinan di Rawa embik atau Savana
Lonceng. Sekitar jam 16.30 kami sudah mendirikan camp di Cisentor. Tidak berapa
lama teman-teman surabaya sudah menyusul tiba di sana. Setelah makan malam,
perjalanan panjang seharian benar-benar membuat tubuh letih dan semua
berisitirahat total malam itu.
Keesokannya
pagi-pagi setelah sarapan, kembali packing dan berkemas, dan meninggalkan pos
Cisentor tepat pukul 08.00. medan yang ditempuh dari Cisentor menuju Rawa embik
adalah masih berupa padang savana dan agak mendaki, kemudian memutar dan
menyusuri lerengan dengan jalan setapak yang sangat sempit dan rapat oleh
tumbuhan belukar dan perdu. Lama sekali rasanya menyusuri lerengan tersebut
sampai akhirnya jalan mulai memutar dan menurun. Rawa Embik adalah salah satu
alternatif tempat camp, karena disana terdapat sumber mata air berupa sungai
kecil yang mengalir. Sambil menunggu yang lain kami kembali mengisi tempat air
minum yang kosong dengan air yang langsung diambil dari sungai. Disini udara dingin mulai terasa menusuk
tulang. Aku mengeluarkan jaket polar yang sengaja aku letakkan dibagian atas
kerir. Dalam setiap perjalanan jangan pernah ragu untuk mengeluarkan jaket
ataupun flanel untuk mengurangi rasa dingin karena berhenti bergerak, untuk
menghindari hypotermia, itu yang pernah diajarkan oleh salah seorang sahabatku yang
sudah tiada. Dan cukup lama kami menunggu teman-teman Surabaya yang ternyata
sempat salah jalur, hingga akhirnya mereka muncul saat kabut mulai turun di
sekitar Rawa Embik.
Kami
memutuskan untuk berjalan dengan jarak yang dekat karena kabut turun bersama
gerimis. Aku memilih jalan paling belakang karena untuk mengurangi kecepatan langkahku agar tetap
berada dalam tim. Dan aku ternyata berjalan dalam lamunan dan imajinasi yang
luar biasa, sehingga hampir tak mengenali medan disekelilingku, hanya mengikuti
jalur yang dilalui oleh mereka didepanku. Disini sangat terasa kehadiran
sesuatu yang mistis, yang mengajak naluriku untuk melangkah bersama pasukan
yang entah apa. Atau mungkin daya khayalku terlalu tinggi. Sesekali tersentak
karena pak de (salahsatu teman dari surabaya) dan mas Kinthok yang memanggil
namaku jauh didepan.
Kabut
semakin pekat dan gerimis yang turun hanya membuat kami terhenti untuk menarik
nafas sekejap saja. Dan kembali agak terang ketika memasuki Savana Lonceng.
Karena mas Kinthok memutuskan untuk tidak ke Rengganis, teman-teman dari
surabaya pun mengikuti kami menuju Puncak Argopuro. Aku tidak terlalu peduli
tentang Puncak rengganis, karena tujuan langkahku hanya menuju puncak Argopuro
dan turun menuju Taman Hidup. Mulai mendaki jalur yang menuju puncak Argo,
dengan hamparan batu bertebaran dimana-mana. Sesekali aku takjub memandang ke
arah bawah dan savana lonceng yang kami tinggalkan. Seperti memasuki sebuah
negeri dongeng yang tidak pernah aku temui dan rasakan di pendakianku lainnya.
Sampai di puncak Argo pada pukul 11.45, dan aku bersyukur karena saat itu telah
melunasi catatan perjalananku di pulau jawa, puncak Argopuro adalah puncak
terakhirku di pulau Jawa.
Tak
lama kami menyinggahi puncak Argo, kemudian melanjutkan perjalanan, menyeberang
ke puncak Hyang yang dipisahkan oleh dataran yang membentuk sadel antara kedua
puncak itu. Dan tetap aku merasa berada di dunia yang seperti negeri dongeng.
Aku bergegas mengikuti langkah mas Kinthok yang mulai menuruni jalan setapak di
antara bebatuan , yang agak sedikit curam. Di pertigaan menuju puncak Arca kami
menunggu teman-teman surabaya yang masih tertinggal dibelakang. Aku berdiri
takjub menatap hamparan Taman Mati yang berada diantara puncak Arca dan puncak
Argo serta puncak Arca yang terlihat penuh misteri. Mataku juga sempat melihat
kera berwarna keemasan yang meloncat melintasi pepohonan di jalur menuju puncak
Arga. Sayang waktu kami terbatas untuk menyinggahi puncak Arca. Setelah salah
seorang teman surabaya muncul, kami melanjutkan perjalanan turun, karena yakin
mereka tidak akan tersesat karena menuju Taman Hidup hanya ada satu jalur.
Sekitar
pukul 15.00 ketika sampai di persimpangan Cemoro Limo, dimana setelah lama
berhenti, akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan tanpa menunggu
temen-teman Surabaya, dengan pertimbangan jarak yang masih sangat jauh dan
menghindari perjalanan di malam hari. Dari Cemoro Limo menuju Taman Hidup masih
melalui lerengan , yang beberapa diantaranya merupakan jalur sungai atau air
terjun kecil yang sudah mati. Disini gerimis mulai turun, dan mengharuskan kami
untuk menggunakan Raincoat . langkah benar-benar bergegas menuju Taman hidup,
dan pada akhirnya tetap saja maghrib menjelang dan kami baru saja memasuki
hutan rapat saat gelap datang.
Sesampainya
di Taman Hidup telah ada teman-teman pendaki yang berasal dari berbagai kota
yang bergabung jadi satu tim. Kami bergegas mendirikan tenda disamping tenda
milik mereka, karena khawatir turun hujan lebat. Dan benar saja, setelah tenda
berdiri dan baru saja mulai masak untuk makan malam, hujan turun dengan
derasnya. Beberapa saat kemudian teman-teman surabaya sampai juga kesana dan
dalam keadaan basah kuyup terpaksa mendirikan tenda dibawah derasnya hujan.
Karena
letak areal camp yang hampir sama rata dengan tinggi air di Danau Taman Hidup,
maka areal camp pun banjir dengan ketinggian air sekitar 7-10 cm. Untungnya om
anam membekali kami dengan tenda barunya, sehingga air tidak masuk ke dalam
tenda, dan sebaliknya malah berasa tidur di atas kasur air. Hujan yang tidak
berhenti dan letih yang sangat membuat semua terlelap malam itu.
Pagi
sekali aku terjaga, hujan telah berhenti, dan areal camp pun sudah kering. Aku
cepat-cepat keluar, niat hati ingin melihat matahari, tetapi ternyata ketika
melangkahkan kaki ke arah danau Taman Hidup, sekeliling danau adalah
bukit-bukit dan belantara rapat, dan posisi matahari terbit ada dibalik bukit
dihadapanku. Sebelum yang lain mendatangi danau, aku mengambil beberapa gambar
setiap sudut danau Taman hidup. Dan kemudian kembali ke camp, dimana
teman-teman lain mulai menjemur pakaian dan perlengkapan mereka yang basah. Keakraban
di antara sesama pendaki begitu terasa dengan kebersamaan, cerita dan canda
tawa, hal yang sudah nyaris hilang saat ini dengan menjamurnya pendaki di dunia
petualangan.
Setelah
bersih-bersih dan istirahat, kami semua turun dari baderan menuju terminal
dengan menyewa mobil yang dimiliki oleh Petugas Polhut Argopuro. Satu cerita
tercatat lagi bersama kawan-kawan baru yang terasa sangat dekat. Setiap perjalanan
akan menjadi cerita yang baik dan indah jika kita menginginkannya. Setiap teman
perjalanan adalah bagian dari diri kita dan perjalanan itu sendiri. Maka bertegursapalah
dan bersikap peduli terhadap sesama pendaki, maka perjalananmu tidak akan
sia-sia. Salam Lestari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar