Dalam sebuah perjalanan di
rangkaian kegiatan penelitian Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi, salah satu
tempat penelitian di Korwil Luwuk banggai adalah Kecamatan Pagimana . Ketika
selesai melakukan penelitian di beberapa desa , aku mengerjakan laporan kegiatan
hari-hari sebelumnya dan hari itu, karena aku tidak mau lagi terburu-buru
menyusun laporan yang setiap hari jumat diambil oleh staf Kotis. Setelah makan
siang dan shalat dzuhur, aku mulai jemu sendiri. Akhirnya meminta Ibu Nina ,
staf Camat menemani aku untuk melihat dermaga di Pagimana.
Dengan menggunakan becak motor
atau dikenal dengan sebutan Bentor, becak yang digerakkan dengan menggunakan
kendaraan motor. Itulah kendaraan umum disini. Kami dibawa menuju Dermaga.
Dermaga yang cukup luas itu sangat sepi. Tidak ada tanda-tanda aktifitas apapun
disitu. Ternyata dermaga itu tidak digunakan sebagai pelabuhan atau kapal-kapal
angkut. Hanya digunakan sebagai dermaga darurat dan belum dioperasikan. Dari
sana terlihat hamparan bebukitan dan pegunungan di atas Pagimana. Begitu indah
dan menyejukkan. Dikejauhan aku melihat sebuah garis putih agak berkelok.
Sepertinya itu sebuah air terjun yang besar dan tinggi. Kemudian seperti
kebanyakan bebukitan di wilayah Kabupaten Banggai, banyak sekali terdapat
padang savana atau padang rumput. Sementara di laut dibawah dermaga , aku
menyaksikan ikan-ikan yang berenang di antara terumbu-terumbu karang yang
bewarnawarni. Disekeliling dermaga masih
sangat asri oleh hutan bakau yang sangat terjaga. Menurut Ibu Nina, banyak
sekali perusahaan dan pejabat yang berniat melakukan reklamasi pantai untuk
membangun peristirahatan dan tempat makan, namun untungnya izin untuk itu belum
turun hingga saat itu . Aku bersyukur di dalam hati. Hal itu sangat melegakan,
karena sangat disayangkan jika pohon-pohon bakau itu lenyap berganti bangunan
dan keramaian.
Dari dermaga itu Ibu Nina
mengajak aku melihat dermaga kapal angkut yang berada di sebelahnya. Kebetulan
saat itu ada kapal yang berlabuh, menunggu penumpang. Aku bisa melihat seperti apa kapal angkut
penumpang itu. Dari pelabuhan kecil itu aku dibawa Ibu Nina ke tempat nelayan
di pasar. Tiba-tiba terlintas dikepalaku untuk menyewa sebuah perahu untuk
memutari perkampungan suku bajo yang berada di seberang. Ibu Nina berhasil
mendapatkan perahu salah satu nelayan dengan harga murah. Aku tidak mau
melewatkan kesempatan ini, dengan mengambil beberapa gambar sesukanya. (haha
aku bukanlah seorang photographer, jadi lebih tepat aku menyebut foto-foto yang
aku ambil dengan sebutan ‘foto suka-suka’).
Perahu melewati pemukiman Suku
Bajo yang berada di atas air dipinggiran daratan. Rumah-rumah mungil terbuat
dari kayu dan bambu. Begitu padat. Pemukiman suku bajo terletak persis di
pesisir Teluk Tomini dengan nama Desa jaya Bakti. Ini merupakan pemukiman
terpadat di Indonesia dan terkenal di dunia, dengan kepadatan penduduk sekitar
1826per km². Masyarakat Bajo berpendapat bahwa tepian laut dan pantai
mendatangkan rejeki. Pembagian wilayah diurutkan dari tepi laut. Setiap Kepala
Keluarga mempunyai luas kepemilikan tanah <50m². Pola pemukiman tersebut
diseluruh pulau , dimulai dari pesisir hingga memenuhi seluruh pulau. Selain di
pesisir , masyarakat Bajo rata-rata membangun rumah di ataspermukaan air yang
memobilitas mereka kelaut. Seperti yang aku saksikan dari atas perahu. Ada
ternak kambing yang terikat disamping rumah kecil milik mereka. Seorang
laki-laki tengah mencuci pakaian dibelakang rumah, dan aku melihat sepasang
suami istri yang berpakaian muslim berwarna hitam dan sang istri menggunakan
cadar. Dan masyarakat Suku Bajo disini adalah muslim.
Bajo bermakna Suku Laut,
karena kehidupannya dekat laut, penghasilannya semua bersumber dari laut. Suku
Bajo adalah suku perantau, bukanlah masyarakat Suku asli. Suku Bajo pertama di
Indonesia berada di Teluk Bone, kemudian menyebar ke berbagai tempat di
Indonesia. Suku Bajo ini terkenal di dunia.
Dari pembicaraan dengan
nelayan pemilik perahu, bahwa tidak jauh dari pemukiman Suku Bajo, terdapat
areal penambangan nikel di pinggir laut. Aku penasaran , dan akhirnya kami
dibawa menuju tempat itu yang berada di balik daratan yang berseberangan dengan
pemukiman Suku Bajo atau Desa Jaya Bakti. Perahu melewati kawasan yang masih
dipenuhi pohon-pohon bakau yang menutupi permukaan lautan. Dari atas perahu aku
bisa melihat terumbu-terumbu karang yang cantik tapi mulai banyak rusak dibawah air laut.
Aku terpana menyaksikan
pemandangan di depanku. Daratan luas yang hanya menyisakan beberapa batang
pohon, ditengah-tengah tanah pasir berwarna hitam pekat. Tanah yang siap untuk
diangkut dan diproses dan menghasilkan lembaran rupiah. Sakit rasanya
membayangkan tanah di tanah air kita diangkut keluar dari bumi pertiwi,
menyisakan tanah gersang tandus tak lagi bermata air. Ini bukanlah wilayah
penambangan. Hanya tempat pemrosesan hasil penambangan yang akan diangkut
menggunakan kapal angkut yang sangat besar. Untuk tempat penampungan ini mereka
mereklamasi pantai. Aku hanya mengeluh dalam hati, hasil tambang itu mungkin
berasal dari Desa Asaan atau dari penambangan Nikel yang sempat kami lalui saat
menuju Desa Bulu atau tempat lainnya. Aku hanya mengambil beberapa gambar
disitu, dan meminta nelayan yang mengantar kami untuk kembali kepemukiman suku
Bajo.
Bapak nelayan yang
mengantarkan kami hari itu bersama anak
istrinya sebenarnya bermaksud pulang sore itu. Hasil tangkapan mereka tak
sebanyak biasanya. Semakin lama ikan di perairan Pagimana semakin sedikit,
karena faktor rusaknya Terumbu karang dan sistem perikanan yang tidak lestari
seperti penggunaan pukat harimau dan bom. Selain itu disebabkan oleh dampak
perubahan iklim, dimana riset menemukan kenyataan bahwa perubahan iklim
meyebabkan penurunan jumlah ikan hingga 70% pada perairan di Lintang Utara yang
jauh dari garis Khatulistiwa. Sementara itu masyarakat suku bajo sangat
berperan dalam menghasilkan ikan bagi Pagimana, dimana maskot Pagimana adalah
ikan asin yang terkenal sebagai oleh-oleh. Karena penurunan hasil tangkapan
ini, maka harga ikan pun cukup mahal dan belum lagi nelayan ditekan oleh
tengkulak yang tentunya menginginkan harga yang cukup murah untuk hasil
tangkapan mereka.
Suku bajo tak semuanya menetap
di desa jayabakti, sebagian memilih hijrah ke Tanjung Jepara dan Pulau tembang
yang berada di seberang Jaya Bakti, walau berada di teluk tomini tetapi secara
administratif termasuk dalam Kabupaten Banggai. Dengan kepadatan hampir 5000
jiwa Desa Jaya Bakti merupakan aset berharga bagi kepentingan suara dalam
Pilkada, sayang nasib mereka tidak diperhatikan sepenuhnya oleh pemerintah. Namun
begitu kehidupan suku bajo di desa jaya Bakti terasa sangat solid, dimana semua
warga sangat peduli dengan yang lainnya.
Perahu bergerak pelahan
melewati pohon-pohon bakau dan satu-satu bangunan milik nelayan yang dibangun
di atas air. Memutar dan kembali ke arah pelabuhan dari arah yang berbeda,
menuju pemukiman. Laut menunjukan pemandangan indah sore itu, laksana cermin
yang memantulkan rumah-rumah di pinggiran laut dengan bias jingga. Beberapa
anak berenang di lautan. Aku benar-benar menikmati indahnya pemandangan itu.
Perahu menepi dan mendarat di tepi pemukiman, karena aku dan Ibu Nina berniat
pulang melalui Desa Jaya Bakti dengan berjalan kaki, kemudian naik bentor di
jalan trans. Melewati jembatan kayu dipinggiran laut yang sekitarnya terdapat
perahu-perahu kecil dan anak-anak Bajo yang berenang dengan riang gembiranya.
Bahagia dengan kesederhanaan dunia kanak-kanak mereka.
Aku dan Ibu Nina berjalan
melalui pemukiman, melintasi jalan-jalan di Desa Jaya Bakti. Anak-anak ramai
bermain di sore itu. Memenuhi jalanan. Begitu riuh dengan teriakan mereka, yang
berkejaran menikmati masa kanak-kanak tanpa terpengaruh oleh dunia luar. Pada
kesempatan berikutnya aku berkesempatan bermain dengan anak-anak Bajo. Anak-anak
yang belum bersekolah ketika aku ajak bicara , mereka tidak mengerti bahasa
Indonesia. Menurut anak-anak lain yang lebih besar dan sudah bersekolah, mereka
yang belum bersekolah belum belajar bahasa Indonesia jadi hanya mengenal bahasa
Bajo.
Kami menyusuri jalanan yang
merupakan satu-satunya akses jalan raya masuk ke pemukiman tersebut. Sebuah
mesjid berdiri kokoh tepat di ujung desa seperti layaknya sebuah pintu gerbang
masuk ke pemukiman Bajo. Melewati jalanan yang kiri kanannya masih terdapat
hutan bakau, hingga akhirnya kami sampai kembali ke jalan Trans Pagimana –
Lobu. Kami kembali ke rumah dengan menggunakan Bentor.
Terima kasih Ekspedisi NKRI
yang telah memberikan pengalaman yang sangat berharga melalui perjalanan yang
luar biasa. Semoga apa yang menjadi harapan masyarakat di tempat-tempat jauh
dari pemerintahan pusat NKRI bisa didengar dan diperhatikan serta
ditindaklanjut, sehingga pembangunan bisa mencapai wilayah terluar Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar