Aliansi
Penyelamatan Maleo
Burung Maleo (Macrocephalone Maleo)
adalah burung endemik di Sulawesi, yang artinya hanya ada di Sulawesi dan tidak
ada di tempat lain. Dahulunya Maleo tersebar di seluruh wilayah Sulawesi, namun
karena kerusakan habitat dan pengambilan telur Maleo secara berlebihan telah
menyebabkan populasi Maleo turun dengan sangat drastis. Dan hampir 90%
benar-benar punah di daerah-daerah di Sulawesi.
Pengambilan telur burung Maleo bukanlah sebagai
kebutuhan pokok, akan tetapi lebih kepada simbol barang mewah atau status. Kini,
burung maleo terdaftar dalam kategori “terancam punah” oleh IUCN (International Union for the
Conservation of Nature) dan CITES Appendix I. Burung maleo juga dilindungi
oleh undang-undang Indonesia secara menyeluruh. Berburu, menangkap, membunuh,
atau mengganggu Burung Maleo dewasa atau telurnya dapat dikenai hukuman pidana
penjara hingga 5 tahun dan didenda hingga Rp 200 juta (UU No. 5/1990). Walaupun
pengambilan telur tersebut melanggar hukum, namun hukum tersebut seringkali
diabaikan.
Burung maleo mempunyai kebiasaan hidup seperti
owa jawa, dimana mereka hidup berpasangan sehidup semati. Habitat utama mereka
adalah hidup di dalam hutan , namun, waktu si betina sudah siap untuk bertelur,
pasangan maleo itu berjalan kaki berkilo-kilo ke tempat bertelur komunal, yang
biasanya terletak di pesisir pantai, atau di dekat mata air panas di dalam
hutan.
Di area pesisir pantai ini pasangan maleo itu
menggali lubang yang besar di dalam pasir atau tanah selama berjam-jam. Di
dalam lubang tersebut, kemudian burung maleo betina menelurkan hanya satu butir
telur saja yang sangat besar. Badan burung maleo seukuran ayam, sedangkan telur
maleo besarnya sekitar enam kali lipat telur ayam.
Kalau sudah bertelur di dalam lubang, pasangan
maleo itu menguruk telur tersebut dengan pasir dengan kedalaman yang mencapai
kurang lebih 1 meter. Kemudian, mereka pulang kembali lagi ke hutan, sementara
telur dibiarkan untuk dipanasi oleh matahari atau panas bumi. Kalau tidak diambil
oleh masyarakat atau diganggu, sesudah 60-80 hari telur itu akan menetas di
dalam pasir. Begitu menetas, anak maleo menggali selama 24-48 jam ke atas untuk
mengirup udara segar di alam bebas. Sesudah beristirahat selama beberapa menit,
anak maleo langsung terbang ke arah hutan, untuk hidup secara mandiri tanpa
bantuan induknya.
Kemudian muncullah upaya perlindungan burung
maleo di tempat bertelur maleo di dekat Desa Taima, Kab. Bualemo dimulai pada
tahun 2006. Pada tanggal 1 Agustus 2006, sebuah upaya gabungan dibentuk untuk
melancarkan konservasi burung maleo yang baru. Koalisi tersebut terdiri dari
warga Desa Taima, MAPALA Iguana Tompotika, Yayasan Pemerhati Lingkungan yang
berpusat di Luwuk, pihak pemerintah Kab. Banggai, beberapa ahli konservasi
Indonesia dan internasional, serta sebuah rombongan pengunjung internasional.
Upaya konservasi itu dimulai dengan masa percobaan 6 bulan. Selama periode itu,
semua pihak sepakat bahwa pengambilan telur di tempat bertelur maleo tersebut
harus dihentikan.
Upaya tersebut ternyata berhasil, sehingga
kegiatan konservasi maleo di Taima berlanjut terus. Sementara itu,
koalisi tersebut berkembang menjadi kemitraan resmi antara masyarakat Taima,
BKSDA Sulawesi Tengah, dan Yayasan AlTo (Aliansi Tompotika). Turunnya populasi
maleo di sana sudah berhasil diperbaiki, dan sejak tahun 2006 jumlah burung
maleo di sana meningkat terus. Proyek perlindungan maleo di Taima adalah
satu-satunya proyek pelestarian maleo, di dunia, yang berhasil membuktikan
peningkatan populasi maleo setempat. Upaya konservasi burung maleo AlTo sudah
berkembang, termasuk Kampanye Konservasi Burung Maleo yang tersebarluas.
Upaya ini pun memberi peluang penghasilan kepada
warga desa taima dengan menjadi pengawas tempat tersebut secara bergilir. Sebagai
wujud terima kasih Alto memberikan bantuan kepada masyarakat Taima berupa bahan
bangunan, perbaikan bangunan fasilitas umum hingga proyek air bersih, sehingga
masyarakat yang tadinya kesulitan mendapatkan air bersih sekarang sangat
terbantu. Selain itu juga memberi kebanggaan bagi masyarakat Taima, dengan
didapatnya penghargaan “The Maleo award” dari Komunitas Konservasi
internasional pada tahun 2010.
Mengunjungi
Pantai Taima yang indah dan mengintip Maleo
Ketika berada di Kecamatan Bualemo, maka salah
satu agenda bagi tim peneliti Ekspedisi NKRI Sulawesi adalah mengunjungi Taima
dan mendapatkan data tentang Maleo, dan kebetulan di antar langsung oleh staf
Alto. Tempat bertelur dan juga kawasan perlindungan Maleo berada dalam
pengawasan alto dan masyarakat taima. Tempat ini dari jalan raya tidak terlihat sebagai kawasan
penting, dan pondok penjagaan Alto berada dalam sebuah komplek dengan tempat
bertelur Maleo.
Berkunjung ke pondok penjagaan alto, merupakan
sebuah kesempatan yang sangat luar biasa. Bertemu dengan para konservasionis
yang berhari-hari bertugas jauh dari keramaian, ditempat terpencil. Disini hanya
ada bangunan pondok tempat tinggal yang berupa rumah kayu, dan sebuah menara
pengamatan, dengan area bertelur Maleo berada dihadapan menara pengamatan,
sementara disisi lain adalah tempat perlindungan telur-telur penyu. Karena disinipun
merupakan kawasan tepat penyu bertelur didaratan.
Untuk bisa menyaksikan Maleo bertelur, kita harus
naik ke menara pengamatan dan harus bertahan cukup lama untuk ,menunggu kedatangan Maleo dewasa yang
berpasangan dari hutan kesana untuk bertelur dan menyembunyikan telurnya. Cukup
lama penantian itu, terkadang satupun Maleo tidak terlihat seharian, terkadang
sekaligus beberapa pasang secara bersamaan atau bergantian datang dan bertelur.
Dan waktu-waktu yang merupakan masa bertelur sekitar bulan juni hingga
desember, dimana bisa sekitar 50 pasang Maleo datang kesana.
Dan hal yang paling mengasikkan tentunya selain
mengamati Maleo adalah menyaksikan anak-anak penyu dilepas berlarian menuju
laut lepas. Menuju alam yang ganas, yang merupakan pertaruhan hidup atau mati
buat anak-anak tanpa induk tersebut.
Selain itu, menjelajahi kawasan pantai Taima
tersebut pun adalah hal yang menyenangkan. Menyusuri pantai di hadapan pondok
Alto, kemudian menembus hutan menjumpai pantai di sebaliknya. Menyaksikan matahari
terbit di garis cakrawala,menikmati keindahan alam tanah banggai di desa Taima
yang jauh dari keramaian. Tempat ini jaraknya sekitar 156 km dari pusat ibukota
Luwuk Banggai. Sebuah perjalanan yang cukup jauh bagi kami dari camp ekspedisi
yang berada di desa Salodik.
Apa yang
bisa kita lakukan untuk membantu penyelamatan Maleo?
Kita bisa membantu upaya konservasi maleo AlTo.Menyumbang
Kita dapat menyumbangkan dana untuk membantu biaya penjagaan dan memastikan bahwa jumlah burung maleo bisa tetap meningkat di Taima. Taima merupakan satu-satunya lokasi di dunia di mana peningkatan itu terjadi. Bantuan dana tersebut bisa menghubungi kontak dari AltoBerkunjung
Bagi yang tertarik untuk berkunjung ke penangkaran Maleo tersebut , bisa meminta bantuan ke pemandu Maleo Tour, atau layanan tur lingkungan Alto, yang menggabungkan layanan tur ke tempat bertelur Maleo dangan berbagai layanan proyek lingkunganWaspada!
Ingatlah: kalau suatu hari Anda menemukan telur maleo yang dijual, jangan beli atau makan telur itu! Dan juga, jangan coba memelihara burung maleo dewasa di dalam kandang–biasanya mereka akan mati. Pengambilan, pembelian, atau perdagangan telur atau produk maleo dilarang oleh hukum Indonesia, dan pelanggar dapat dikenai denda yang berat atau pidana penjara. Membawa produk maleo ke luar negeri juga dilarang.Selamatkan Maleo!
- Jangan mengambil, membeli atau makan telur maleo
- Lestarikan hutan alami, yang diperlukan sebagai rumah burung maleo
(dari berbagai sumber, catatan Ekspedisi NKRI koridor
sulawesi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar