Sebagai
orang awam yang hanya bisa mengikuti perkembangan dari kehidupan dan keberadaan
Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon yang buat aku adalah rumah ke tiga
setelah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, aku hanya bisa menyuarakan
tentang perlindungan Badak Jawa dan habitatnya melalui pesan-pesan singkat di
medsos. kampanye sederhana menurutku. Dan ketika ada ajakan menggunakan Photo
Profile dengan format seperti di atas aku turut mendukung meski tidak
sepenuhnya paham, harapan seperti apa yang bisa aku berikan kepada mereka ikon
Taman Nasional Ujung Kulon yang bernama Rhinoceros sundaicus tersebut. Apa yang
dapat dilakukan untuk memberikan mereka sebuah harapan, dan harapan seperti
apa?
20
tahun keluyuran keluar masuk belantara Ujung Kulon, aku belum bisa memberikan
kontribusi apapun buat rumah dan tempat bermainku ini selain memperkenalkan
kepada dunia luar tentang kawasan konservasi yang menjadi habitat bagi makhluk
langka bernama Badak Jawa. Dengan harapan muncul kepedulian dalam bentuk apapun
untuk mendukung setiap program dan upaya perlindungan terhadap Badak Jawa. Mengikuti
perkembangan dan segala sesuatu tentang Badak Jawa melalui teman-teman baik itu
petugas TNUK/Polhut, WWF-UjungKulon, RPU, RMU atau apapun itu, tetapi tidak
mendalaminya dengan baik. Hanya sekedar tahu tanpa keinginan untuk
mempelajarinya lebih jauh.
Sejak
awal tahun 1996 mulai bermain di kawasan Taman Nasional, dua kali melakukan
studi banding sebagai Volunteer Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan satu
kali mengikuti kegiatan opsih yang dilaksanakan oleh Volunteer dan pihak TNUK
pada tahun 1997, dan dua kali mengikuti patroli dan jadwal monitoring RMPU
(ketika itu), selebihnya hanyalah perjalanan main-main menurutku. Seperti halnya
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, buatku Taman Nasional Ujung Kulon adalah
rumah dan tempat bermain, juga tempat belajar, melalui perjalanan dan cerita
atau diskusi-diskusi tanpa sadar (begitu aku menyebutnya :D ). Lebih dari itu
adalah mempertahankan silaturahmi dan hubungan baik pertemanan dan kekeluargaan
dengan orang-orang yang sudah aku kenal dekat, sebut saja kang Nana, kang Iwan
Podol, mas Ajie WWF, kang Warca (alm), kang Ade Mirza, pak Otong, pak Mirkani
adalah orang-orang yang telah banyak memberi pengetahuan dan membuka wawasanku
tentang Taman Nasional Ujung Kulon. Begitupun dengan begitu banyak teman-teman
lainnya, telah mengikatku pada sebuah silaturahmi yang tak pernah putus.
Terakhir
meninggalkan jalur selatan sejak tahun 2005, kemudian 4 tahun berikutnya hanya
menyinggahi Karang Ranjang dan beralih ke utara bermain seputaran Pulau Peucang
. mengemas trip dalam bentuk ekoturisme mungkin adalah cara yang bisa aku
lakukan untuk membuat orang-orang yang mengikuti trip untuk mengenal lebih jauh
tentang apa itu kawasan konservasi dan kenapa harus ada Taman Nasional. Tak banyak
yang bisa dilakukan karena kebanyakan orang tidak begitu antusias untuk
memahami apa itu konservasi, seperti begitu susahnya mengajak pendaki yang saat
ini begitu menjamur untuk paham tentang etika bermain di alam. Namun setidaknya
usaha itu tetap akan dilakukan tanpa henti.
Sekian
tahun tidak pernah menempuh jalur selatan, hingga di bulan desember 2016
mendadak aku harus kembali. Awalnya adalah ingin sekedar melihat seperti apa
kondisi pos Karang Ranjang dan Cibunar saat ini. Kebetulan pada tanggal dimana
aku akan mencapai Cibunar, pada tanggal yang sama Tim Ekspedisi Gunung Payung
BTNUK-WWF yang dikomandoi oleh kang Iwan Podol turun dan akan berada di Cibunar
juga. Dan bagiku ini adalah kesempatan untuk kembali belajar dan mencari tahu
lebih banyak lagi tentang banyak hal yang menjadi tanda tanya di pikiranku.
Banyak
perubahan yang sangat signifikan yang aku temukan sepanjang jalur Cibandawoh
hingga Cibunar. Bukan pada bentukan alam, tetapi justru terkait dengan Badak
Jawa. Dulu untuk menemukan jejak sang Badak sangat sulit. Bahkan di jalur utara
aku dan teman volunteer TNGGP harus dibawa masuk ke dalam oleh kang Iwan untuk
sekedar menemukan jejak-jejak langka Badak Jawa. Namun dalam perjalananku dari
Cikeusik hingga Citadahan, bagiku sangat luar biasa menemukan jejak-jejak Badak
yang masih baru, dimana terdapat dua jejak yang berjalan berdampingan tapi agak
berjauhan. Dan itu adalah jejak Badak ukuran besar dan jejak Badak dengan
ukuran yang lebih kecil. Ibu dan anakkah? Dan aku merasa tertipu dengan
jejak-jejak yang jelas masih sangat baru itu. Kapan mereka (atau dia) lewat? Pagi
sekalikah? Dan mungkin saat aku melintasi jalur Cikeusik – Citadahan itu Badak
tersebut telah sampai di muara Cikeusik jauh ke dalam. Begitu pun ketika
kehilangan jalur di lintasan Citadahan – Cibunar aku mengikuti jalur Banteng,
dan menemukan kembali jejak Badak di antara lintasan banteng tersebut.
Dalam
ketidaktahuanku, aku hanya mendengar dan memperhatikan diam-diam cerita-cerita
dan diskusi-diskusi tim dan kang Iwan Podol di pos Cibunar. Hingga kemudian
menemukan hal-hal lain yang membuat aku semakin ingin tahu banyak tentang
segala yang berkaitan dengan Badak tersebut. Sepanjang jalur Cibunar – Cidaon banyak
ditemukan jejak-jejak Badak yang masih baru, dan juga kotorannya. Mungkin apa
yang ada dalam pikiranku yang awam akan berbeda dengan semua anggota tim yang
memang sudah menguasai tentang kebiasaan-kebiasaan si badak bercula satu ini. Terutama
Kang Iwan Podol yang memang sudah pakar dalam hal ini. Dalam pikiranku sebagai
orang awam, Badak ini cukup iseng, dia mengikuti jalur patroli atau jalur
manusia bukan berjalan di bagian hutan yang menjauh dari kehadiran manusia. Kemudian
bentuk keisengannya adalah dia mengambil jalur yang melintasi atau
memotong-motong jalur patroli atau notabene jalur manusia. Pada beberapa bagian
yang merupakan tanjakan atau turunan, dia tidak mengikuti jalur patroli yang
sudah terbentuk, tetapi memotong jalur yang merupakan tanjakan yang bagi
manusia akan sulit untuk dilalui. Namun penjelasannya aku temui di buku Teknik
Konservasi Badak Indonesia, bahwa Badak mempunyai jalur lintasan tetap
berbentuk lurus dengan arah tertentu, ditempat yang makanannya berlimpah, dan
fungsi jalur ini adalah merupakan koridor antara tempat mencari makan,
berkubang mandi dan beristirahat. Jika dengan
beban berat tubuhnya yang sedemikian dia mampu mendaki memanjati
tanjakan-tanjakan terjal itu, bukan tidak mungkin dia akan sampai ke gunung
Cipayung ataupun gunung Honje. Bukan tidak mungkin. Dan mungkin karena memiliki sifat senang
menjelajah (Schenkel dan Schenkel 1969) maka wilayah pegununganpun dengan
mudahnya akan mereka jelajahi tergantung jarak dari sumber pakan dan tempat
berkubang.
Maka
pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan analisa aku sebagai orang awam adalah
sebagai berikut :
-
Dengan ditemukan
begitu banyak jejak Badak pada jalur-jalur patroli atau jalur umum, bukankah
itu berarti populasinya sudah semakin bertambah?
-
Wilayah jelajahnya
semakin keluar dari zona aman, memunculkan spekulasi , apakah dia merasa
terbiasa dengan manusia tanpa merasa terancam, atau karena populasinya semakin
meningkat, sehingga wilayah jelajah semakin luas dan ini akan tidak mencukupi.
-
Jika populasinya
semakin meningkat, bagaimana dengan ketersediaan pakan? Sebagaimana diketahui
dari hasil penelitian, sekitar 109 jenis tumbuhan adalah merupakan pakan Badak
dan banteng, dan 62 diantaranya adalah jenis pakan yang sama dengan banteng.
-
Persaingan individu,
apakah mungkin terjadi pada Badak? Jika tidak apa yang menyebabkan kecacatan
yang ditemukan pada beberapa individu ?
Dan
banyak pertanyaan yang muncul, yang tentunya hanya bisa dijawab oleh pihak
terkait dan para ahlinya. Jawaban itu akan ditemukan sambil belajar pada
tempatnya yang tepat. Namun kembali pada kisah Photo Profile yang menjadi tanda
tanya, aku menemukan jawabannya sendiri. Dengan berasumsi bahwa perlindungan
Badak jawa di Taman Nasional telah cukup berhasil dan meningkatkan populasi
dari jumlah yang kritis menjadi jumlah yang menggembirakan. Tetapi juga akan
menyedihkan jika dengan populasi yang semakin meningkat, kekurangan pakan dan
lahan untuk berkembang biak dengan baik menjadi ancaman yang serius. Disinilah muncul
jawabanku atas pertanyaanku sendiri terkait kalimat “ I Give Them Hope”. Ya,
memberi mereka harapan baru untuk tumbuh kembangnya menuju arah yang semakin
baik dan jumlah populasi yang tidak terbatas. Memberi harapan rumah baru pada
mereka. Maka muncul satu kalimat di otakku yaitu “Jangan Jadikan Taman Nasional
Ujung Kulon Sebagai Habitat Terakhir Badak Jawa”. Ya, beri mereka
harapan bahwa mereka bisa tumbuh kembang di tempat lain di pulau Jawa, yang
akan menjadi rumah mereka. Jangan batasi populasi mereka hanya di Ujung Kulon. Secara
bercanda sebagai Volunteer Taman Nasional Gunung Gede pangrango, aku teringat
Rhino Home yang konon ceritanya dahulu kala adalah merupakan juga habitat Badak
Jawa. Aku menganggap itu sebagai gurauan hingga aku menemukan fakta bahwa
Hoogerwerf (1970) telah mencatat penyebaran Badak Jawa secara vertikal, bahwa
Badak jawa pada abad ke 18 hidup tersebar di Gunung Tangkuban Perahu, Gunung
Gede Pangrango, Gunung Slamet, Gunung papandayan dan Gunung Ciremai. Who knows?
Siapa yang tahu kebenaran itu semua? Seorang Ahli tentu tidak mengada-ada
membuat sebuah catatan berdasarkan penelitian dan fakta yang ditemuinya.
Maka
“I
Give Them Hope”, aku memberi mereka harapan, dan berharap semua pihak
juga memberi harapan yang sama. Jangan batasi populasi mereka hanya sebatas
kemampuan Taman Nasional Ujung Kulon menampung dan ketersediaan pakan mereka
disana. Beri mereka harapan untuk memiliki habitat baru , lahan baru untuk
mengembangkan populasi mereka. Dengan melalui penelitian-penelitian tentunya
akan ditemukan tempat dimana ketersediaan tumbuhan yang merupakan pakan Badak
mencukupi di tempat baru tersebut, begitu pula luas wilayah jelajah dan perlindungan
terhadap habitat baru tersebut bisa dijamin.
“I Give Them Hope” , aku memberi mereka harapan, mari
bersamamemberi mereka harapan, “Jangan Jadikan Taman Nasional Ujung Kulon
Sebagai Habitat terakhir Badak Jawa “
Tidak ada komentar:
Posting Komentar