Senin, 01 Februari 2016

LAKSAMANA KEUMALAHAYATI, PEREMPUAN BERCAHAYA DALAM LINTASAN SEJARAH ACEH (1)

                                          gambar : laksamana Keumalahayati



Judul di atas adalah judul dari sebuah buku. Penulis buku ini adalah Hj Pocut Haslinda Muda Dalam Hazwar, ibunda dari Teuku Raffli, yang sempat aku temui ketika itu dirumahnya di kawasan jakarta Selatan. Beliau menghadiahkan 6 buah buku karyanya tentang sejarah dan perjuangan rakyat aceh di masa lampau, dan ke-6 nya Beliau tandatangani khusus, dengan pesan agar membaca buku-buku tersebut sehingga mengenal sejarah perjuangan rakyat aceh yang sesungguhnya. Dan yang paling menarik buat aku adalah satu buku dengan judul seperti di atas. Jika selama ini hanya mengenal beberapa nama yang sangat dikenal sebagai pahlawan wanita dari Aceh, seperti Cut Nyak Dien dan Cut Meutia, ternyata masih sederet lagi perempuan-perempuan hebat dan perkasa yang berada di garis depan perlawanan Aceh terhadap penjajah. Merekalah perempuan-perempuan bercahaya itu.

Salah satunya adalah bernama  Keumalahayati, yang diberi gelar Laksamana (Admiral), karena jasanya dalam mengawal kepentingan Aceh di lautan di masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589 – 1604) atau yang sering disebut Sultan Al Mukammil.  Sebelum diangkat menjadi Laksamana, Keumalahayati meniti karir sebagai komandan pasukan wanita dengan tuga sebagai pengawal istana sekaligus intelijen kerajaan dan tugas ini dijalankan dengan sukses. Karena keberhasilannya ini Sultan mempercayainya untuk mengemban tugas memimpin pasukan angkatan laut dengan pangkat Laksamana.

Bangsa asing yang pertama kali datang ke aceh dan wilayah sekitarnya dengan melakukan tindakan negatif adalah Portugis pada abad XVI. Portugis merebut kota Malaka dari tangan orang Islam pada tahun 1511, dan juga melakukan intervensi ke kerajaan-kerajaan sekitar malaka. Tindakan semena-mena ini memancing konflik dengan Aceh yang pada saat itu telah tumbuh menjadi kerajaan besar dan mengganti peran Malaka yang telah ditundukkan Portugis. Konflik ini berlangsung lama sekali mulai abad XVI sampai abad XVII. Dalam suasana konflik inilah muncullah pejuang dan tokoh penting yang memperjuangkan kepentingan masing-masing pihak. Di pihak aceh, Laksamana Keumalahayati adalah salahsatu pejuang yang mempertahankan harkat dan martabat bangsanya melawan Portugis.

Menurut sebagian keterangan , Sultan Sayid Mukammil lebih percaya pada wanita dalam pengamanan kerajaan. Untuk mengawal istana, ia merekrut 40 perempuan yang dipimpin Laksamana Keumalahayati. Dengan keahlian militer dan diplomasinya Laksamana Keumalahayati mampu menyelamatkan Aceh dari jebakan yang telah disiapkan bangsa kolonialis barat sehingga semua aset ekonomi, politik dan pertahanan aceh bisa tetap dipertahankan. Hal ini karena ia tidak terjebak kepentingan pribadi untuk memperkaya diri sendiri ataupun godaan kekuasaan menjadi penguasa aceh walaupun dia banyak memiliki kesempatan untuk itu.

Suami Keumalahayati adalah seorang Laksamana yang turut tewas bersama sekitar seribu prajuritnya pada saat terjadi pertempuran Teluk haru antara armada Selat malaka aceh dan armada Portugis. Dan setelah pertempuran itu, Keumalahayati memohon kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk sebuah armada aceh yang prajurit-prajuritnya adalah para wanita janda yang suaminya telah syahid di Teluk haru. Permohonan ini dikabulkan dan Keumalahayati menjadi panglimanya. Armada ini disebut Armada Inong Balee (Armada wanita janda), dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya. Dan peristiwa Houtman Bersaudara telah mengangkat Laksamana Keumalahayati ke puncak kegemilangan. Armada Inong Balee adalah terdiri dari seratus buah kapal perang yang setiap kapal dilengkapi dengan meriam-meriam. Untuk ukuran zaman itu Armada Inong Balee dipandang sebagai armada yang kuat di selat Malaka bahkan di Asia Tenggara, seperti yang dijelaskan Prof.Dr.Denys Lombard di sebuah buku karyanya berjudul Kerajaan Aceh di Zaman Iskandar Muda.

Armada dagang Belanda yang dipersenjatai layaknya kapal perang di bawah pimpinan dua bersaudara Cornelis de Houtman dan Frederijk de Houtman pada 1599 memasuki pelabuhan Banda Aceh yang diterima dengan wajar sebagai armada dagang negara sahabat. Tetapi sayangnya dua bersaudara Houtman mengkhianati kepercayaan Sultan. Mereka membuat manipulasi dagang, mengacau, menghasut dan sebagainya. Bagi Sultan tidak ada jalan lain kecuali memerintahkan Panglima Armada Inong Balee menyerbu kapal-kapal perang Belanda yang disamarkan dengan kapal dagang tersebut. Cornelis de Houtman mati ditikam Keumalahayati sendiri dengan rencongnya, sementara Frederijk ditawan

Seorang penulis wanita Marie van C, zeggelen dalam bukunya berjudul “Oude Glorie, antara lain menulis yg terjemahannya : “ di kapal van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya oleh Laksamana Keumalahayati sendiri, sementara sekretaris rahasianya menyerang Frederijk de Houtman dan ditawannya serta dibawa ke darat”.
 Buku lain yang berjudul Vrouwelijke Admiral Malahayati, sangat memuji-muji Malahayati (keumalahayati). Menurutnya Armada Inong Balee terdiri dari 2.000 orang prajurit wanita, dan belum ada seorang wanita pun di dunia yang menjadi panglima armada seperti Keumalahayati. Dan keumalahayati telah memainkan peranan sangat penting dalam Kerajaan Aceh Darussalam, tidak saja sebagai panglima armada inong Balee, tetapi juga sebagai negarawan dan diplomat ulung.

Dan sejak itu beberapa orang sultan di kerajaan Aceh Darussalam mempercayakan pengawalan istana kepada pasukan wanita khusus. Sukey Inong Kaway Istana atau Resimen Wanita Pengawal Istana dibentuk oleh Sultan Muda Ali Riayat Syah V.  Tugasnya adalah untuk menjaga dan memelihara ketertiban dalam istana, termasuk menjadi barisan kehormatan untuk menghormati tamu-tamu kehormatan kerajaan.

Demikianlah riwayat singkat salahsatu dari Perempun Bercahaya dalam lintasan sejarah aceh. Bunda Pocut menulisnya dengan harapan agar para wanita mulai tersadarkan kembali, betapa dibalik kelemahan mereka tersimpan api kepemimpinan yang disokong oleh keteguhan visi dalam menghadapi setiap masalah yang menghadang.

 (sumber : Perempuan bercahaya dalam lintasan sejarah Aceh, Hj Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar)

Tidak ada komentar: