Sabtu, 05 Desember 2015

OBO BALINGARA DAN SEPENGGAL CERITA DIPELOSOK NEGERI


Obo Balingara yang tanpa listrik dan sinyal ibarat Negeri antah berantah (buat kami peserta Ekspedisi NKRI ketika itu) yang bahkan penduduknya ada yang tidak mengenal siapa presidennya selain Pak Soeharto. Yang terpajang di dinding sekolah yang sangat sederhana dan juga rumah kepala desa hanyalah foto Bupati dan Wakilnya. Mereka tidak peduli? entahlah. Tapi Bendera Merah Putih yang lusuh dan usang di halaman sekolah itu membuktikan bahwa mereka setia pada tanah air ini (NKRI) yang mungkin bahkan pemerintah di atas sana tidak pernah peduli dan mau tahu tentang mereka. Desa ini berjarak sekitar 50 km dari jalan masuk yang berada dekat perbatasan wilayah Nuhon dan Ampana.



Tidak banyak kendaraan yg melintasi desa ini (dengan jalan yang termasuk jalan negara yang masih berbatu-batu), selain truk-truk pengangkut kayu hasil pembalakan liar (masalah yang rumit dan tidak pernah terselesaikan, namun mereka terus berjuang mempertahankan hutan mereka). sesekali lewat mobil-mobil pribadi dan motor. mungkin melintasi wilayah Obo untuk mencapai 'negeri emas'  padang bulan yang berada dekat perbatasan Tojo Unauna.
Kebutuhan mereka akan sandangpangan mungkin terasa sangat mahal. Namun mereka hidup dengan apa adanya, bekerja di kebun-kebun nun jauh dipedalaman, meski hasilnya hanya bisa dijual dengan harga sangat murah. Namun mereka hidup dengan segala kesederhanaan itu. 





Ketika itu kami tinggal di rumah kepala desa, yang satu-satunya memliki genset. Rumah sekitarnya tak banyak, karena desa ini mencakup wilayah yang cukup luas, dan warga desa adalah mayoritas dari suku Tak dan Saluan yang menetap jauh di bukit-bukit dan belantara. Rumah sekitar hanya dihuni warga yang berasal dari suku Jawa, Bali dan Sunda. Namun mereka bersatu dibawah kepemimpinan kepala desa. Bahkan Suku Tak dan Saluan yang memiliki Kepala suku, tetap patuh mengikuti tatanan hidup bernegara dan berbangsa (begitu aku menyebutnya ). Ketika panggilan datang dari Kepala Desa untuk mufakat dan musyawarah atau hal-hal penting lainnya, mereka akan keluar dari huma-huma mereka di dalam hutan atau atas bukit , turun menghadiri pertemuan itu. Seperti saat menyambut kedatangan kami, hadir pula warga dan ketua suku serta pemangku adat suku saluan dan tak. Walaupun tak fasih berbahasa Indonesia, mereka tetap menunjukan rasa hormat mereka dan mau menjelaskan banyak hal, dan ini diterjemahkan oleh seorang teman kami yang asli banggai.






Satu hal lagi yang membuat rasa Nasionalisme tergugah adalah kemauan dan semangat anak-anak untuk bersekolah. Dengan seragam yang beragam apa adanya, bersepatu bagus, butut hingga bertelanjang kaki, mereka menyambut matahari pagi dengan bergegas menuju sekolah. Meski tahu gurunya mungkin akan datang terlambat , atau salah satu berhalangan hadir, mereka tetap bersemangat. Menyanyikan Lagu Indonesia raya dan mengucapkan pancasila begitu penuh dengan percaya diri dan hikmatnya. Berapa jarak yang mereka tempuh dari rumah-rumah mereka di huma di atas bukit? Pernahkah mereka tahu di jakarta atau kota-kota anak-anak se usia mereka merengek ingin bermain di mall, menghabiskan waktu di warnet-warnet (hingga tak tahu waktu) dan berlomba-lomba memiliki barang-barang modern terbaru seperti gadget dsb?.  Mereka bersahabat dengan alam dan kehidupan sederhana milik mereka. dengan keluguan dunia kanak-kanak mereka.





Sekolah di Obo Balingara dan Batu Hitam, desa yang terdekat, hanya ada sebuah Sekolah Dasar, dengan 4 ruangan. 1 ruang digunakan untuk ruangan guru dan keperluan lainnya, 3 ruang lainnya digunakan untuk kelas. Kelas? Bukankah SD seharusnya memiliki 6 kelas? Disini satu ruang di gunakan untuk dua kelas sekaligus, dengan memasang sekat di antaranya. Tak banyak murid disini, namun mereka menunjukkan semangat untuk terus sekolah. Jika menamatkan bangku Sekolah dasar, maka sebagian meneruskan ke SMP yang berada di Kecamatan, dan itu berarti harus menempuh jarak yang jauh dengan menggunakan kendaraan roda dua atau tinggal di rumah salahsatu keluarga mereka.






Hampir semua penduduk Obo balingara berladang dan berkebun , baik di dekat rumah atau jauh di atas bukit. Mereka menjaga dengan baik kelestarian alam milik mereka, namun sayang, begitu banyak pembalakan liar yang terjadi di hutan-hutan di wilayah itu. Mereka tidak berdaya menghadapi orang-orang dengan truk-truk yang selalu datang untuk mengangkut batang-batang pohon. Berkali-kali mereka membuat laporan kepada pemerintah setempat hingga Daerah, namun surat pernyataan warga dan pengaduan tersebut selalu mentok entah dimana. Dan seperti pada umumnya, dibalik semua itu selalu ada campur tangan oknum pejabat atau penguasa. Dan seperti sebuah lingkaran yang tidak pernah ada ujungnya, apapun upaya mereka tidak atau belum berhasil menangani masalah ini.






Potensi di wilayah ini hanyalah berupa hasil bumi. Menurut warga yang sempat mengantarkan untuk melihat tempat-tempat penebangan liar, ada sebuah airterjun di dalam hutan, namun jalan menuju kesana cukup jauh dan menurun, dan masih tertutup. Dan tentunya tidak cukup waktu kami untuk kesana.Namun kami juga sempat diantar oleh Kepala desa ke sebuah danau kecil yang berada di dalam hutan. Sayang lokasinya benar-benar tertutup, padahal lumayan indah. Warga sering datang kesini untuk memancing atau menjala ikan, dan memang cukup banyak ikan disana. 







Suku Saluan dan Tak menempati  huma atau rumah panggung sederhana , yang menampung seluruh keluarga mereka.  Rumah-rumah ini berada di tempat-tempat yang berjauhan satu dengan yang lainnya. Dan jarang sekali ditemui rumah dengan bangunan permanen , walaupun itu adalah kaum pendatang seperti suku Bali, jawa dan sunda.







Seorang warga yang mengantarkan aku untuk observasi, membawa aku untuk mampir dirumahnya yang sederhana. Disini dia tinggal bersama istri dan dua orang anaknya. Selain berkebun dan berladang, dia dan istrinya membuat gula merah dari aren. Proses pembuatan dilakukan di tempat khusus dibawah rumah. Dua kuali besar sedang dijerang di atas perapian. Yang satu masih tahap awal,  sementara satu lagi sudah berwarna kecoklatan, tinggal menunggu proses akhir. Aku tertarik sekali melihat proses pembuatannya, sambil duduk dan berbincang dengan istrinya yang masih sangat muda. Bahasa Indonesia nya sangat terbata-bata, tapi sangat memahami bahasa ibu pertiwi. Mereka telah menabung dan membeli jatah sepetak tanah di luar yang dekat dengan jalan raya, namun baru di bersihkan lahannya, belum bisa dibangun rumah tempat tinggal. Tetapi mereka memilih lahan itu akan ditanami kelapa dan coklat, sementara mereka akan tetap tinggal disitu. Ternyata tak jauh kebelakang terdapat sebuah sungai kecil jernih, yang menjadi sumber air bagi mereka. Ketika aku pamit untuk kembali ke rumah kepala desa, mereka membungkuskan aku dua tangkup gula merah, yang langsung terbayangkan nikmatnya olehku.







Walau tanpa listrik, tanpa sinyal, bahagia pernah ada disini, menyelami kehidupan sederhana milik mereka, menghayati makna hidup saling menghormati dan memelihara perdamaian antar suku , dimana suku saluan berbaur dengan suku jawa, bali, dan sunda. Juga antar agama dimana agama islam, nasrani, dan Hindu hidup berdampingan dengan rukun. Jalanan senyap itu telah aku tinggalkan, bersama ceita tentang Obo, suatu hari aku berharap bisa kembali ke tempat itu.