Obo Balingara yang tanpa listrik dan sinyal
ibarat Negeri antah berantah (buat kami peserta Ekspedisi NKRI ketika itu) yang
bahkan penduduknya ada yang tidak mengenal siapa presidennya selain Pak Soeharto.
Yang terpajang di dinding sekolah yang sangat sederhana dan juga rumah kepala
desa hanyalah foto Bupati dan Wakilnya. Mereka tidak peduli? entahlah. Tapi
Bendera Merah Putih yang lusuh dan usang di halaman sekolah itu membuktikan
bahwa mereka setia pada tanah air ini (NKRI) yang mungkin bahkan pemerintah di
atas sana tidak pernah peduli dan mau tahu tentang mereka. Desa ini berjarak
sekitar 50 km dari jalan masuk yang berada dekat perbatasan wilayah Nuhon dan
Ampana.
Tidak banyak kendaraan yg melintasi desa ini
(dengan jalan yang termasuk jalan negara yang masih berbatu-batu), selain
truk-truk pengangkut kayu hasil pembalakan liar (masalah yang rumit dan tidak
pernah terselesaikan, namun mereka terus berjuang mempertahankan hutan mereka).
sesekali lewat mobil-mobil pribadi dan motor. mungkin melintasi wilayah Obo untuk
mencapai 'negeri emas' padang bulan yang berada dekat perbatasan Tojo
Unauna.
Kebutuhan mereka akan sandangpangan mungkin
terasa sangat mahal. Namun mereka hidup dengan apa adanya, bekerja di
kebun-kebun nun jauh dipedalaman, meski hasilnya hanya bisa dijual dengan harga
sangat murah. Namun mereka hidup dengan segala kesederhanaan itu.
Ketika itu kami tinggal di rumah kepala desa, yang
satu-satunya memliki genset. Rumah sekitarnya tak banyak, karena desa ini
mencakup wilayah yang cukup luas, dan warga desa adalah mayoritas dari suku Tak
dan Saluan yang menetap jauh di bukit-bukit dan belantara. Rumah sekitar hanya
dihuni warga yang berasal dari suku Jawa, Bali dan Sunda. Namun mereka bersatu
dibawah kepemimpinan kepala desa. Bahkan Suku Tak dan Saluan yang memiliki
Kepala suku, tetap patuh mengikuti tatanan hidup bernegara dan berbangsa
(begitu aku menyebutnya ). Ketika panggilan datang dari Kepala Desa untuk
mufakat dan musyawarah atau hal-hal penting lainnya, mereka akan keluar dari
huma-huma mereka di dalam hutan atau atas bukit , turun menghadiri pertemuan
itu. Seperti saat menyambut kedatangan kami, hadir pula warga dan ketua suku
serta pemangku adat suku saluan dan tak. Walaupun tak fasih berbahasa
Indonesia, mereka tetap menunjukan rasa hormat mereka dan mau menjelaskan
banyak hal, dan ini diterjemahkan oleh seorang teman kami yang asli banggai.
Satu hal lagi yang membuat rasa Nasionalisme
tergugah adalah kemauan dan semangat anak-anak untuk bersekolah. Dengan seragam
yang beragam apa adanya, bersepatu bagus, butut hingga bertelanjang kaki,
mereka menyambut matahari pagi dengan bergegas menuju sekolah. Meski tahu
gurunya mungkin akan datang terlambat , atau salah satu berhalangan hadir,
mereka tetap bersemangat. Menyanyikan Lagu Indonesia raya dan mengucapkan
pancasila begitu penuh dengan percaya diri dan hikmatnya. Berapa jarak yang
mereka tempuh dari rumah-rumah mereka di huma di atas bukit? Pernahkah mereka
tahu di jakarta atau kota-kota anak-anak se usia mereka merengek ingin bermain
di mall, menghabiskan waktu di warnet-warnet (hingga tak tahu waktu) dan
berlomba-lomba memiliki barang-barang modern terbaru seperti gadget dsb?. Mereka bersahabat dengan alam dan kehidupan
sederhana milik mereka. dengan keluguan dunia kanak-kanak mereka.
Sekolah di Obo Balingara dan Batu Hitam, desa
yang terdekat, hanya ada sebuah Sekolah Dasar, dengan 4 ruangan. 1 ruang
digunakan untuk ruangan guru dan keperluan lainnya, 3 ruang lainnya digunakan
untuk kelas. Kelas? Bukankah SD seharusnya memiliki 6 kelas? Disini satu ruang
di gunakan untuk dua kelas sekaligus, dengan memasang sekat di antaranya. Tak
banyak murid disini, namun mereka menunjukkan semangat untuk terus sekolah.
Jika menamatkan bangku Sekolah dasar, maka sebagian meneruskan ke SMP yang
berada di Kecamatan, dan itu berarti harus menempuh jarak yang jauh dengan
menggunakan kendaraan roda dua atau tinggal di rumah salahsatu keluarga mereka.
Hampir semua penduduk Obo balingara berladang dan
berkebun , baik di dekat rumah atau jauh di atas bukit. Mereka menjaga dengan
baik kelestarian alam milik mereka, namun sayang, begitu banyak pembalakan liar
yang terjadi di hutan-hutan di wilayah itu. Mereka tidak berdaya menghadapi
orang-orang dengan truk-truk yang selalu datang untuk mengangkut batang-batang
pohon. Berkali-kali mereka membuat laporan kepada pemerintah setempat hingga
Daerah, namun surat pernyataan warga dan pengaduan tersebut selalu mentok entah
dimana. Dan seperti pada umumnya, dibalik semua itu selalu ada campur tangan
oknum pejabat atau penguasa. Dan seperti sebuah lingkaran yang tidak pernah ada
ujungnya, apapun upaya mereka tidak atau belum berhasil menangani masalah ini.
Potensi di wilayah ini hanyalah berupa hasil
bumi. Menurut warga yang sempat mengantarkan untuk melihat tempat-tempat
penebangan liar, ada sebuah airterjun di dalam hutan, namun jalan menuju kesana
cukup jauh dan menurun, dan masih tertutup. Dan tentunya tidak cukup waktu kami
untuk kesana.Namun kami juga sempat diantar oleh Kepala desa ke sebuah danau
kecil yang berada di dalam hutan. Sayang lokasinya benar-benar tertutup,
padahal lumayan indah. Warga sering datang kesini untuk memancing atau menjala
ikan, dan memang cukup banyak ikan disana.
Suku Saluan dan Tak
menempati huma atau rumah panggung
sederhana , yang menampung seluruh keluarga mereka. Rumah-rumah ini berada di tempat-tempat yang
berjauhan satu dengan yang lainnya. Dan jarang sekali ditemui rumah dengan
bangunan permanen , walaupun itu adalah kaum pendatang seperti suku Bali, jawa
dan sunda.
Seorang warga yang
mengantarkan aku untuk observasi, membawa aku untuk mampir dirumahnya yang
sederhana. Disini dia tinggal bersama istri dan dua orang anaknya. Selain
berkebun dan berladang, dia dan istrinya membuat gula merah dari aren. Proses
pembuatan dilakukan di tempat khusus dibawah rumah. Dua kuali besar sedang
dijerang di atas perapian. Yang satu masih tahap awal, sementara satu lagi sudah berwarna kecoklatan,
tinggal menunggu proses akhir. Aku tertarik sekali melihat proses pembuatannya,
sambil duduk dan berbincang dengan istrinya yang masih sangat muda. Bahasa
Indonesia nya sangat terbata-bata, tapi sangat memahami bahasa ibu pertiwi. Mereka
telah menabung dan membeli jatah sepetak tanah di luar yang dekat dengan jalan
raya, namun baru di bersihkan lahannya, belum bisa dibangun rumah tempat
tinggal. Tetapi mereka memilih lahan itu akan ditanami kelapa dan coklat,
sementara mereka akan tetap tinggal disitu. Ternyata tak jauh kebelakang
terdapat sebuah sungai kecil jernih, yang menjadi sumber air bagi mereka.
Ketika aku pamit untuk kembali ke rumah kepala desa, mereka membungkuskan aku
dua tangkup gula merah, yang langsung terbayangkan nikmatnya olehku.
Walau tanpa listrik, tanpa
sinyal, bahagia pernah ada disini, menyelami kehidupan sederhana milik mereka,
menghayati makna hidup saling menghormati dan memelihara perdamaian antar suku
, dimana suku saluan berbaur dengan suku jawa, bali, dan sunda. Juga antar
agama dimana agama islam, nasrani, dan Hindu hidup berdampingan dengan rukun. Jalanan senyap itu telah aku tinggalkan, bersama ceita tentang Obo, suatu hari aku berharap bisa kembali ke tempat itu.