Kamis, 07 September 2017

BADUY DAN USAHA MEMPERTAHANKAN ADAT LELUHUR DITENGAH ARUS MODERNISASI




Buyut nu dititipkeun ka puun
Nagara satelang puluh telu
Bagawan sawidak lima
Pancer salawe negara
Gunung teu meunang dilebur
Lebak teu meunang dirusak
Larangan teu meunang dirempak
Buyut teu meunang dirobah
Lojor teu meunang dipotong
Pondok teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun          
Nu ulah kudu diulahkeun
Nu enya kudu dienyakeun

Demikianlah penggalan dari amanat Buyut yang menjadi sebagian pedoman hidup masyarakat Baduy. Jelas amanat Buyut tersebut telah ditetapkan menjadi tanggung jawab Puun yang menjadi pusat segala aturan dan adat istiadat bagi masyarakat Baduy. Tiga Puun yang berada di tiga desa Baduy Dalam adalah orang yang memegang kekuasaan secara bersama untuk mengatur dan disegani oleh seluruh Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Ditengah berbondong-bondongnya arus tamu atau pengunjung dari luar Baduy yang masuk ke wilayah Kanekes, maka semakin deras juga arus modernisasi yang dibawa melalui pengaruh kedatangan para pengunjung tersebut. Adat Baduy Dalam menerima tamu yang masuk ke wilayah mereka dengan syarat mengikuti aturan yang diberikan yaitu beberapa di antaranya: tidak diperbolehkan menggunakan peralatan elektronik selama berada di Baduy Dalam, tidak diperbolehkan memotret warga dan wilayah Baduy Dalam, tidak diperbolehkan mandi disungai dengan menggunakan sabun dan sebagainya yang mencemari air sungai, dan lain sebagainya.

Baduy Luar terlihat lebih modern karena sebagian besar telah menggunakan pakaian yang umum digunakan oleh orang-orang di luar Baduy seperti kaos dan celana pendek jins, memiliki peralatan rumahtangga yang tidak dimiliki oleh Baduy Dalam seperti kasur, perabotan plastik dan peralatan rumahtangga lainnya. Namun sesungguhnya masih banyak peraturan yang mereka jalani dalam kehidupan yang mengikuti aturan-aturan dari Puun dan adat Baduy Dalam. Seperti berpakaian yang seharusnya adalah baju dan celana selutut berwarna hitam bagi para lelaki dan baju hitam dengan kain berwarna biru buat perempuan, namun pergeseran budaya membuat sebagian masyarakat Baduy Luar menggunakan celana dari jins atau bahan dan warna lain namun tetap pendek.

Ada sedikit kekhawatiran ketika beberapa bulan ini keluar masuk wilayah Kanekes terutama Baduy Dalam. Dengan begitu banyaknya pengunjung yang masuk setiap minggunya tentu akan memberikan dampak positif maupun negatif. Positif secara ekonomi karena membantu perekonomian masyarakat Baduy Luar dan baduy Dalam, negatifnya mungkin memberikan dampak pergeseran budaya dan mempengaruhi lingkungan . sebagai contoh adalah masalah sampah, dimana sekarang mulai dari Baduy Luar hingga Baduy Dalam telah disediakan tempat sampah di jalanan dan di depan setiap rumah, membuat para pengunjung leluasa membuang sampah ditempat yang disediakan. Tahukah bahwa itu sebenarnya juga adalah pe-er buat warga Baduy Dalam, karena mereka harus membakar sampah-sampah itu setiap pengunjung telah meninggalkan desa mereka. Belum lagi tempat sampah yang ada di bilik pancuran atau pemandian dimana banyak terdapat sampah pembalut yang tidak lagi segan-segan dibuang ditempat tersebut. Kemana rasa malu kita (bagi yang merasa perempuan)?

Perubahan besar lainnya dari arus modernisasi yang masuk ke Baduy dalam adalah pedagang makanan kecil dan kebutuhan sehari-hari seperti berbagai jajanan, gula, kopi, bumbu dapur, bahkan rokok. Menyedihkan bagi para pencinta Adat Budaya Baduy ketika menyaksikan anak-anak berlarian bolak-balik dengan jajajan ditangan, rengekan di rumah-rumah dimana anak-anak meminta uang untuk jajan, para lelaki yang malam-malam berkumpul ditempat pedagang untuk membeli dan menikmati mie rebus instan, kopi dan ada yang mencoba-coba rokok. Rasanya hati ini menangis dan teriris (jangan katakan lebay) melihat perubahan tersebut. Beberapa orangtua pun telah mengeluh soal ini dimana anak-anak banyak yang merengek minta jajan. Dan beberapa makanan yang membuat kita menelan ludah tanpa bisa berbuat apa-apa adalah kadaluarsanya yang tidak dipahami oleh masyarakat awam seperti masyarakat Baduy dalam yang tidak semuanya bisa membaca. Dan ini benar-benar ditemukan, bahkan Safri yang menguasai bahasa Indonesia cukup baik begitu juga baca tulis mengakui bahwa dia menemukan beberapa makanan yang tanggal kadaluarsanya telah lama lewat yang seharusnya sudah tidak boleh dikonsumsi.

Terkait dengan inipun terasa nyata dampaknya dimana banyak warga yang terkena penyakit batuk. Makanan yang tadinya alami dan sehat yang biasa mereka konsumsi berubah dengan jajanan yang mengandung pewarna dan bumbu-bumbu begitu juga untuk masakan yang mulai berubah dengan menambahkan penyedap rasa kemasan. Tanya pun sempat terlontar kepada beberapa orang yang dikenal di Cibeo dan baduy luar, namun jawabannya seperti menyimpan banyak hal yang seperti membias tak tersampaikan. Masalah pedagang ini awalnya mereka hanya pedagang yang melintas saja dari desa ke desa, entah siapa yang memberi izn dan membolehkan awalnya kemudian menumpang bermalam dirumah salahsatu warga, dan akhirnya berani untuk buka lapak didepan rumah. Dari semalam kemudian kebablasan dua tiga malam. Kemudian ditegur mereka pergi meninggalkan baduy dalam, tetapi besoknya masuk pedagang lain yang juga bermalam, begitu seterusnya sehingga warung dadakan ini bisa dikatakan buka setiap hari. Maka berperanglah antara dua kepentingan antara pedagang yang mencari uang dan warga yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan tanpa bersusah payah turun ke pasar dengan aturan yang harus ditaati.

Sebulan kemudian kembali lagi masuk ke wilayah Kanekes di hari biasa untuk menjumpai beberapa kenalan, memilih jalur atau pintu depan yaitu Ciboleger. Agak terkaget-kaget namun dengan hati yang cukup senang mendengar cerita Juli dan Mursid (anak Ayah Mursid yang sudah tinggal di Baduy Luar) tentang adanya razia di wilayah Kanekes. Razia? Jangan bayangkan Polisi berseragam yang merazia di jalan raya atau Satpol PP yang merazia pedagang kaki lima. Razia ini dilakukan oleh para jaro dan tetua adat baduy atas perintah ketiga Puun dan kesepakatan bersama para tetua adat, untuk mengembalikan kebiasaan dan tatanan hidup sesuai dengan adat dan budaya.  Cerita Juli dan Mursid ini akhirnya bisa dilihat di desa-desa yang berada di Baduy Luar dimana begitu banyak perabotan rumah tangga yang dikeluarkan dari rumah dan ditumpuk di halaman yang cukup luas di masing-masing desa tersebut.






Berbincang dengan Kang Emen dari Baduy Luar yang cukup terkenal dikalangan tamu atau pengunjung dan sering mewakili masyarakat Baduy di pameran-pameran untuk kerajinan Baduy, dia mengatakan bahwa Razia bukan berarti para tetua adat memeriksa setiap rumah dan mengeluarkan dengan paksa barang-barang tersebut dari dalamnya. Tetapi setiap warga terutama yang muda-muda dengan kesadaran penuh mengakui kesalahannya dan mengeluarkan sendiri barang-barang yang seharusnya tidak boleh mereka miliki. Dan barang-barang tersebut ditumpuk jadi satu untuk bisa dilihat sebagai bukti oleh para tetua adat sebelum dimusnahkan.




Bukan hanya peralatan rumah tangga yang harus disingkirkan, ternyata pipa-pipa selang air yang terbuat dari plastik harus dibongkar dan saluran air dikembalikan ke awal yaitu dari bambu. Dan ini adalah pekerjaan yang tidak mudah karena harus mengganti begitu banyak selang air yang cukup panjang dan tumpang tindih dari sungai atau sumber air ke rumah-rumah. Namun mereka menerima itu sebagai konsekwensi dari sebuah kesalahan dan mengikuti aturan tersebut dengan mulai membuat salura-saluran air dari batang bambu. Hal ini mungkin akan berlangsung cukup lama diawasi sehingga segala sesuatunya bisa kembali sesuai dengan amanah buyut. Salah satu hal yang paling menggembirakan adalah dilarangnya pedagang yang menetap atau bermalam masuk kembali ke Baduy Dalam. Dan hari ketika kami masuk itu Cibeo benar-benar bersih dari pedagang. Kemudian apa yang di razia dari rumah-rumah di Baduy Dalam?. Tidak banyak, hanya beberapa barang seperti sendok logam, buku tulis dan pulpen dan gelas atau cangkir kaca. Untuk sendok masih diperbolehkan disimpankan beberapa ditiap rumah tetapi tidak dipakai oleh warga sendiri melainkan untuk dipergunakan ketika ada tamu yang datang. Untuk barang-barang selain dari bahan bambu yang diperkenankan digunakan adalah langseng untuk menanak nasi juga air, mangkuk-mangkuk dari bahan kaca untuk tempat lauk, tempat minum (biasanya untuk minum menggunakan gelas dari bambu), botol minum besar dengan satu bentuk yang sama yang terbuat dari kaca. Selain bentuk tersebut maka tidak diperbolehkan untuk digunakan. Walau ada sedikit keluhan dari beberapa orang tentang razia ini, namun mereka sepakat jika bukan dari diri sendiri yang diingatkan oleh para tetua adat, siapa lagi yang akan menjaga adat dan budaya mereka sendiri yang berasal dari leluhur. Jika tidak, maka suatu hari adat istiadat Baduy tersebut akan menghilang dan tidak akan ada Baduy lagi, begitulah pendapat mereka yang muda-muda yang mentaati peraturan tersebut.



Lantas siapakah para tetua adat yang dimaksud secara bersama-sama melakukan pemeriksaan dan menetapkan kembali peraturan itu? Baduy Dalam dan Baduy Luar walaupun dibedakan oleh sedikit cara hidup, tetapi dalam keyakinan dan adat tetap menjadikan Baduy Dalam lah sebagai sumber keyakinan, kepercayaan dan adat bagi seluruh masyarakat Baduy. Baduy Dalam dan Baduy Luar dipimpin oleh tiga orang Pu’un (orang yang dituakan dan yang dipercaya sebagai pemimpin) yang hanya ada di Baduy Dalam (Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana). Ketiga Pu’un menjadi tempat bertanya, berlindung dan penentu keputusan adat, sekaligus sebagai guru spiritual yang dihormati dan disegani bagi seluruh warga Baduy Dalam maupun Baduy Luar.

Ketiga Pu’un mempunyai fungsi dan perannya masing-masing. Pu’un Kampung Cikeusik mempunyai tugas dan fungsi sebagai penanggung jawab dalam hal spiritual keagamaan. Karena itu, Kampung Cikeusik tidak begitu terbuka untuk umum dan jarang didatangi. Sedangkan Pu’un dari Kampung Cibeo bertugas dan bertanggungjawab dalam hal memelihara dan menjaga serta melaksanakan pelayanan  untuk warga. Itu sebabnya Kampung Cibeo lebih terbuka dan mudah didatangi oleh pengunjung yang datang dari luar. Adapun Pu’un dari Kampung Cikartawana bertanggung jawab dalam hal perlindungan kawasan hutan Baduy. Baduy Dalam adalah masyarakat Baduy asli yang masih menjaga keutuhan nilai-nilai kebudayaan secara sungguh-sungguh.

Posisi Kampung Baduy Luar menyebar dan melingkari keberadaan tiga Kampung Baduy Dalam. Kampung Baduy Luar terbagi ke dalam 60 kampung yang dipimpin oleh Jaro. Diantaranya Kampung Kaduketug Tonggoh, Babakan Cipondok, Kaduketug Landeu, Kadujangkung, Cihulu, Karahkal, Cigula, Kaduketer, Ciwaringin, Sorkokod, Gerendeng, dan lain-lain. Satu kampung lain yang dihuni oleh orang luar Baduy ialah Kampung Cicakal Girang. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari Pu’un dibantu oleh seorang Jaro Tanggung Duabelas, Jaro Pamerintah Adat dan Jaro Tujuh yang berasal dari Baduy Luar.

Selain itu Pu’un juga dibantu oleh Baresan Salapan, berasal dari masing-masing kampung, berjumlah sembilan orang di setiap Kampung Baduy Dalam, serta tiga orang jaro adat di Kampung Baduy Dalam, Jaro Tujuh dari Kampung Baduy Luar yang berjumlah tujuh sampai dengan delapan orang, Girang Seurat dari Baduy Luar, dan Kokolot Lembur dari masing- masing kampung di desa Kenekes. Semua memiliki tugas masing-masing dan bersinergi dalam menjalankan dan mempertahankan adat budaya amanah Buyut.

Seorang Pu’un adalah pimpinan tertinggi di dalam struktur pemerintahan adat masyarakat Baduy. Pu’un hanya ada tiga orang yang berada di Kampung Cibeo, Cikartawana dan Cikeusik. Ketiga Pu’un  memiliki kuasa yang sama antara satu dengan yang lain dan wilayah kekuasaan yang sama pula, yakni seluruh kampung di Baduy Dalam dan Luar. Selain sebagai pimpinan tertinggi dalam struktur pemerintahan tradisional, Pu’un juga mengeluarkan  kebijakan dan aturan-aturan yang mendasar pada ajaran dan adat istiadat warisan leluhur mereka yaitu Sunda Wiwitan. Syarat untuk menjadi Pu’un diantaranya harus mampu memimpin, menguasai adat istiadat Baduy serta melaksanakan ajaran Sunda Wiwitan secara konsisten dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Pu’un diawasi oleh Tangkesan sebagai penasehat yang disegani oleh ketiga Puun tersebut. Dan Tangkesan tidak dapat memberhentikan Pu’un.



Seurut atau Girang Seurat adalah pejabat yang membantu tugas kepu’unan khususnya dibidang kepengurusan huma serang (ladang Pu’un) dan sebagai penghubung antar Pu’un, Kokolot Lembur, Kokolotan, Jaro, dan pejabat lain. Girang Seurat diangkat dan diberhentikan oleh Pu’un. Selain itu, Girang seurat bertugas mewakili Pu’un dalam pertemuan-pertemuan tertentu dengan tamu-tamu yang datang dari pemerintahan apabila Pu’un berhalangan. Masa jabatan yang diemban oleh Girang Seurat tidak dapat ditentukan selama masih dianggap mampu. Seorang akan diberhentikan dari jabatan Girang Seurat dengan sendirinya  apabila dianggap tidak mampu lagi atau meninggal dunia.

Istilah jaro lazim digunakan untuk menyebut kepala desa atau lurah. Istilah ini sudah dipakai sejak lama di Baduy untuk menyebut kepala Desa Kenekes sebagai wilayah ulayat masyarakat Baduy. Terdapat lima orang jaro yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab yang berbeda satu dengan yang lain. Satu orang Jaro Pamarentahan, kemudian satu orang Jaro Warega, dan tiga orang Jaro Adat atau disebut juga Jaro Tangtu. Tugas Jaro Pamarentahan hampir sama dengan jaro-jaro lain di desa-desa di luar Baduy, khususnya di Provinsi Banten dan di Indonesia pada umumnya, yakni mengurus pemerintahan di desa. Jaro Pamarentahan dipilih dan ditentukan oleh Pu’un berdasarkan hasil musyawarah Bares Kolot untuk kemudian disyahkan oleh Camat Leuwidamar. Jaro Pamarentahan bertugas sebagai penghubung kepentingan pemerintahan adat dengan pemerintahan formal yang lazim disebut dengan kepala desa. Jaro Pamarentahan adalah warga Baduy Luar yang memiliki kecakapan yang cukup dan dianggap mumpuni dalam mengurus urusan aturan-aturan formal yang tidak ada di dalam aturan adat Baduy.

Jaro Pamarentahan tidak seperti jaro-jaro atau kepala desa pada umumnya yang memiliki batas waktu menjabat. Jaro Pamarentahan diangkat dan diberhentikan oleh Pu’un dengan masa jabatan tidak ditentukan. Jaro Pamarentah akan diberhentikan oleh Pu’un apabila melanggar adat dan dianggap kurang bertanggung jawab terhadap warga, atau apabila meninggal dunia.

Jaro Adat bertugas menangani kepentingan sosial kemasyarakatan di wilayah Baduy Dalam saja berdasarkan hukum dan aturan adat dan kepercayaan Sunda Wiwitan. Sedangkan Jaro Warega memiliki tugas keagamaan yang menjalankan kewajiban masyarakat Baduy dan mewakilinya untuk mengontrol keadaan hutan adat dan hutan titipan lain di luar Baduy.

Jaro Adat dan Jaro Warega dipilih dan diberhentikan oleh Pu’un dan bertanggung jawab kepada Pu’un. Jaro adat dan Jaro warega hanya bertanggung jawab kepada Pu’un di tiga Kampung Baduy Dalam. Seperti pejabat pemerintah adat Baduy lain, seluruh masyarakat Baduy tidak satu pun yang mencalonkan diri, bahkan mereka merasa was-was apabila ditunjuk oleh pu’un untuk menjabat, karena beban amanat yang dipikul cukup berat. Mereka khawatir tidak bisa menjalankan tugas dengan baik dan benar.

Jaro Tujuh atau tujuh jaro (jumlahnya tujuh sampai delapan orang), tersebar di beberapa kampung: Kampung Cihulu, Kadu Ketug, Cisaban, Sorkokod, Jareng (Desa Kenekes) dan Kampung Nungkulan (Desa Cisimeut). Masing-masing kampung memiliki satu jaro tujuh, kecuali di Kampung Kadu Ketug yang berjumlah dua orang Jaro Tujuh, yakni di Kadu Ketug Tonggoh dan Kadu Ketug Babakan Jaro.

Kokolot Lembur adalah orang yang dianggap sesepuh kampung. Ia dipilih oleh masyarakat kampung karena dianggap memiliki disiplin adat yang kuat dalam kehidupan sehari-hari dan taat terhadap ajaran Sunda Wiwitan. Di setiap kampung di Baduy hanya ada satu Kokolot Lembur, Kokolot Lembur tidak dapat dipilih dan diberhentikan oleh Pu’un, namun masyarakat kampung itu sendiri yang memilih dan memberhentikan. Tugas Kokolot Lembur sebagai guru atau penasehat masyarakat akan ajaran Sunda Wiwitan. Dia bisa menguasai ilmu pengobatan alternatif dan pengobatan tradisional. Dengan kecakapan yang dimiliki, Kokolot Lembur senantiasa diminta bantuan oleh masyarakat setempat untuk mengobati yang sakit.

Kokolotan adalah orang yang dianggap paling patuh tehadap ajaran Sunda Wiwitan dalam kehidupan sehari-hari, dan pengetahuannya berada di atas rata-rata kokolot lembur lain. Kokolotan dipilih oleh Bares Kolot dan hanya ada dua dalam kokolotan di Baduy, tidak pernah lebih atau kurang. Kokolotan bertugas mengawasi dan menasehati Tangkesan, Tidak ada yang memberhentikan Kokolotan kecuali mengundurkan diri, karena ketidakmampuan, atau meninggal dunia. Kokolatan berasal dari Kampung Baduy Luar.  Selain Kokolotan, ada juga kokolotan lain yang tinggal di setiap kampung, namun tidak memiliki kewenangan seperti kedua kokolotan tadi. Kewenangannya sebatas sebutan karena faktor usia dan pengalaman. Seorang Tangkesan harus patuh kepada kokolotan bila diperintah dan dinasehati. Tidak satu pun yang berhak menasehati Tangkesan kecuali kokolotan.


Jaro Tanggungan Dua Belas atau biasa disebut dengan Jaro Tanggungan adalah salah satu warga Baduy Luar yang dipilih oleh Kokolot Lembur, Kokolotan, Tangkesan dan Pu’un berdasarkan hasil musyawarah mufakat. Jaro Tanggungan Dua Belas bertugas memberikan perlindungan hukum kepada seluruh masyarakat Baduy atas perilaku di luar batas wilayah Baduy maupun di wilayah Baduy yang dapat merugikan orang lain atau dirugikan oleh orang lain. Tugas lain dari Jaro Tanggungan adalah memberikan bimbingan kepada seluruh masyarakat Baduy untuk menjaga sikap dan perilaku yang sewajarnya dalam kehidupan sosial. Jaro Tanggungan berasal dari Kampung Kadu Keter (Baduy Luar).

Kemudian ada lagi Tangkesan atau  Bapak Kolot adalah penasehat Pu’un yang berasal dari Baduy Luar dan biasanya dari Kampung Cicatang. Tangkesan dipilih oleh hasil musyawarah Kokolot dan Kokolotan. Jumlah Tangkesan hanya satu orang saja, dimana kewenangannya adalah menasehati dan mengawasi tugas para Pu’un apabila mereka melakukan kesalahan. Pu’un hanya akan menerima teguran atau nasehat dari Tangkesan saja. Kewenangan lain adalah berhak mengawinkan warga Baduy berdasarkan adat dan ajaran Sunda Wiwitan.

Kepala Pemuda adalah pemimpin pemuda kampung, dipilih oleh hasil musyawarah dan mufakat warga kampung. Di setiap kampung terdapat satu orang kepala pemuda, yang bertugas memimpin dan mengerahkan seluruh kegiatan pemuda di kampung: gotong royong pembuatan jembatan, kegiatan keagamaan serta kegiatan kebersamaan lain.


Kepala Kampung adalah pemimpin kampung, dipilih oleh hasil musyawarah dan mufakat warga kampung. Di setiap kampung terdapat satu orang kepala kampung. Tugas utamanya memimpin dan mengerahkan seluruh warganya dalam setiap kegiatan-kegiatan gotong royong pembuatan jembatan, jalan, rumah dan atau dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Kemudian di setiap kampung pun ada Kepala Pemuda, yang dipilih oleh hasil musyawarah dan mufakat warga kampung. Di setiap kampung terdapat satu orang kepala pemuda, yang tugasnya membantu kepala kampung mengerahkan pemuda untuk kegiatan-kegiatan seperti disebut diatas

Selanjutnya adalah Palawari yang merupakan sebutan bagi penduduk yang membantu dalam penyelenggaraan kegitan-kegiatan seremonial, atau kegiatan gotong royong atau kegatan insidentil lain yang dilakukan di sekitar kampung. Palawari mirip seperti kepanitiaan yang sifatnya sementara. Misalnya dalam kegiatan gotong royong untuk pembaruan jembatan, atau “Nyieun Cukangan” yang dilakukan tiap satu hingga dua tahun sekali, dibutuhkan kelompok panitia. Ada kelompok yang bertugas mengikat bambu tiang gantung di atas pohon, pembuat tali, pengirim bambu, pemotong bambu, pengikat bagian pijakan jembatan sampai dengan yang memasak nasi untuk yang bekerja. Jadi, tidak ada pembagian tugas berdasarkan perintah dari seorang pimpinan atau kepala kampung, namun lebih menekankan kesadaran masing-masing untuk bekerjasama sesuai kemampuan dan tugas masing-masing.Mereka yang menyadari dan menjalankan tugas sesuai kemampuan pribadi itulah yang disebut dengan Palawari.

Barisan pimpinan adat dan pemerintahan dan kokolot inilah yang membuat segala sesuatunya berjalan tetap sesuai dengan adat. Pengetahuan dan pemahaman para tokoh Baduy tentang adanya bahaya ancaman modernisasi yang mulai merangsek masuk mendekati lingkungan mereka, makin meningkatkan kesadaran untuk melakukan antisipasi menjaga keutuhan nilai-nilai Baduy hingga akhir zaman. Hukum adat dan agama Sunda Wiwitan terus dikembangkan, dihidupkan dan diajarkan kepada anak-cucu dan generasi muda sebagaimana telah dilakukan secara turun temurun. Mempertahankan nilai-nilai adat dan agama Sunda Wiwitan  merupakan harga mati, tak bisa ditawar. Ini bukan semata berkaitan dengan kepentingan hidup komunitas, tetapi juga berhubungan erat dengan upaya menjaga keselamatan bumi dari kerusakan dan kehancuran. Orang Baduy sudah menyaksikan sendiri betapa lingkungan alam dan hutan di mana-mana di penjuru tanah air dan di belahan dunia, sudah rusak, hancur, sebagian besar hilang dan punah.

Orang Baduy juga harus tetap menjaga keutuhan nilai-nilai ke-Baduy-an, berkaitan dengan upaya menjaga harmonisasi hubungan antar umat manusia. Mereka tidak boleh marah antar sesama, tidak boleh berbohong, berzinah, minum-minuman keras, dan harus turut dan manut pada para tetua sebagai pemangku agama dan adat Baduy di tengah semua sistem nilai yang berlaku di banyak agama dan adat sudah mulai berubah dan ditinggalkan umat. Konflik antara agama, antar kelompok, antar suku, dan antar Negara terus berlanjut tanpa berkesudahan. Cara orang menjalankan syari’at agama di luar, makin berubah dan berkembang menjadi banyak sekte dan aliran, mengikuti perkembangan zaman dan tuntutan materialisme (berorientasi kebendaan) serta hedonism (kenikmatan duniawi). Hukum adat yang menjadi pengikat keutuhan dan harmonisasi hubungan antar masyarakat dan manusia dengan alam, di daerah-daerah wilayah Indonesia makin ditinggalkan oleh generasi muda, karena bujukan dan rayuan pola hidup modern. Identitas adat dan kebudayaan Indonesia makin tereduksi dan terancam punah. Yang terjadi saat ini adanya  proses upaya penghapusan identitas oleh sebuah kekuatan materialism dan kafitalisme.

Orang Baduy mensikapi perubahan-perubahan yang terjadi di luar melalui penerapan hukum adat dan agama secara konsisten dengan satu keyakinan teguh bahwa jika lingkungan Baduy berubah, mengikuti arus modernisasi, itu tanda-tanda dunia dan bumi akan mengalami kehancuran. Keyakinan itu didasari oleh kepercayaan mereka bahwa Orang Baduy hidup di sebuah lokasi yang disebut pancer bumi (tiang bumi), daerah yang tergolong dalam inti jagat, atau kawasan yang harus dijaga. Karena berada di inti bumi, maka keseluruhan nilai-nilai adat dan agama yang melandasi keseluruhan sikap hidup sehari-hari, berorientasi pada upaya menjaga dan melastarikan bumi dari kehancuran.

Wiwitan artinya awal atau yang pertama. Sunda Wiwitan berarti orang Pertama yang dibiarkan ada di hutan untuk menjaga titipan Nabi Adam, menjaga dan memelihara panjer bumi, inti jagat. Itu sebabnya mereka yakin dengan sistem nilai yang dianut, bahwa mereka adalah Cengcelengan Pangeran (Tabungan Tuhan) yang tidak boleh berubah dan bergeser sedikit pun dari rongrongan dan desakan modernisasi. Karena hanya di Baduy lah salah satu ciptaan dan milik Tuhan yang hingga kini masih tersisa utuh dan belum berubah persis seperti Nabi Adam dahulu diturunkan ke muka bumi. Kalau Baduy berubah seperti daerah dan masyarakat lain di penjuru dunia, maka menurut keyakinan dan kepercayaan orang Baduy, bila hal itu benar-benar terjadi maka Orang Baduy percaya dan meyakini bahwa saat itulah dunia akan mengalami kehancuran. Karena itu lah ketika dirasa perlu untuk kembali mentertibkan tatanan hidup tersebut , barisan pemangku adat dan kokolot bersepakat untuk terus memberikan pengawasan terhadap masyarakat adat mereka.

 


  



Sebagai desa wisata adat dimana masyarakat Baduy menerima kunjungan tamu dari luar (kecuali warga negara asing atau orang-orang tertentu yang tidak diizinkan masuk), Baduy pun makin berbenah diri, dengan tetap memperhatikan peraturan adan adat dan budaya mereka. Jalan-jalan di baduy luar yang semakin rapih dengan jalan berbatu tersusun rapi, bangku-bangku dari bambu disediakan di setiap bagian yang dianggap sebagai tempat beristirahat pengunjung yang lelah berjalan, begitu juga keranjang-kerangjang anyam tempat sampah telah banyak tersedia. Namun masih saja banyak pengunjung yang membuang sampah sepanjang jalur yang mereka lalui. Seorang ibu dari cibeo yang pagi itu berangkat keladang bersamaan dengan kami sempat mengeluhkan soal itu, sambil memungut sampah yang ditemuinya. Aku mencoba membantunya dengan memungut sampah-sampah tersebut, dan mengumpulkannya kekantong yang dibawanya. Nanti akan dibakar diladang ucapnya sekilas dengan bahasa Indonesia yang cukup lancar.

Jika kita turut peduli dengan tatanan hidup dan adat budaya mereka yang kita sebut dengan kearifan lokal itu, maka berikut Tips jika ingin berkunjung kesana:
-          Kenali terlebih dahulu peraturan-peraturan yang ada
-          Berpakaian yang sopan
-          Tidak mengotori sungai dengan sabun, sampo ataupun odol
-          Tidak membuang sampah sembarangan
-          Packinglah perbekalan yang dibawa yang meminimalisir sampah
-          Jika ingin makan bersama mereka bawalah bahan makanan sederhana yang biasa mereka konsumsi juga seperti beras, ikan asin, telur,kerupuk, lalapan dan sambel.
-          Bawalah lebih banyak keperluan sehari-hari seperti minyak goreng, gula, teh, kopi sebagai oleh-oleh, sehingga kebutuhan sehari-hari mereka sedikitnya terbantu
-          Jika ingin membawakan anak-anak baduy makanan bawalah makanan atau jajanan yang sehat
-          Tidak membuat keributan selama berada dikawasan baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam
-          Jujurlah dengan peraturan untuk tidak menggunakan kamera ataupun alat elektronik lainnya seperti handphone selama berada diwilayah Baduy Dalam, tidak menggunakannya secara diam-diam
-          Bawalah perlengkapan sendiri jika tenaga angkut yang disediakan adalah anak-anak kecil dari Baduy Dalam
-          Hargai adat dan budaya mereka dengan mentaati peraturan yang diterapkan

Sebagai orang yang peduli terhadap keberlangsungan hidup masyarakat adat Baduy, kitapun harus terus mendukung prinsip hidup dan peraturan yang mereka miliki. Hingga Kanekes atau Baduy tetap ada sebagai warisan leluhur yang memberi teladan tentang kearifan lokal bagaimana menjaga gunung hutan dan bumi secara bijak dan lestari.


(dari wawancara, diskusi dan beberapa sumber)







Tidak ada komentar: