Buyut
nu dititipkeun ka puun
Nagara
satelang puluh telu
Bagawan
sawidak lima
Pancer
salawe negara
Gunung
teu meunang dilebur
Lebak
teu meunang dirusak
Larangan
teu meunang dirempak
Buyut
teu meunang dirobah
Lojor
teu meunang dipotong
Pondok
teu meunang disambung
Nu lain kudu dilainkeun
Nu
ulah kudu diulahkeun
Nu
enya kudu dienyakeun
Demikianlah
penggalan dari amanat Buyut yang menjadi sebagian pedoman hidup masyarakat
Baduy. Jelas amanat Buyut tersebut telah ditetapkan menjadi tanggung jawab Puun
yang menjadi pusat segala aturan dan adat istiadat bagi masyarakat Baduy. Tiga
Puun yang berada di tiga desa Baduy Dalam adalah orang yang memegang kekuasaan
secara bersama untuk mengatur dan disegani oleh seluruh Baduy Dalam dan Baduy
Luar.
Ditengah
berbondong-bondongnya arus tamu atau pengunjung dari luar Baduy yang masuk ke
wilayah Kanekes, maka semakin deras juga arus modernisasi yang dibawa melalui
pengaruh kedatangan para pengunjung tersebut. Adat Baduy Dalam menerima tamu
yang masuk ke wilayah mereka dengan syarat mengikuti aturan yang diberikan
yaitu beberapa di antaranya: tidak diperbolehkan menggunakan peralatan
elektronik selama berada di Baduy Dalam, tidak diperbolehkan memotret warga dan
wilayah Baduy Dalam, tidak diperbolehkan mandi disungai dengan menggunakan
sabun dan sebagainya yang mencemari air sungai, dan lain sebagainya.
Baduy
Luar terlihat lebih modern karena sebagian besar telah menggunakan pakaian yang
umum digunakan oleh orang-orang di luar Baduy seperti kaos dan celana pendek
jins, memiliki peralatan rumahtangga yang tidak dimiliki oleh Baduy Dalam
seperti kasur, perabotan plastik dan peralatan rumahtangga lainnya. Namun
sesungguhnya masih banyak peraturan yang mereka jalani dalam kehidupan yang
mengikuti aturan-aturan dari Puun dan adat Baduy Dalam. Seperti berpakaian yang
seharusnya adalah baju dan celana selutut berwarna hitam bagi para lelaki dan
baju hitam dengan kain berwarna biru buat perempuan, namun pergeseran budaya
membuat sebagian masyarakat Baduy Luar menggunakan celana dari jins atau bahan
dan warna lain namun tetap pendek.
Ada
sedikit kekhawatiran ketika beberapa bulan ini keluar masuk wilayah Kanekes
terutama Baduy Dalam. Dengan begitu banyaknya pengunjung yang masuk setiap
minggunya tentu akan memberikan dampak positif maupun negatif. Positif secara
ekonomi karena membantu perekonomian masyarakat Baduy Luar dan baduy Dalam,
negatifnya mungkin memberikan dampak pergeseran budaya dan mempengaruhi lingkungan
. sebagai contoh adalah masalah sampah, dimana sekarang mulai dari Baduy Luar
hingga Baduy Dalam telah disediakan tempat sampah di jalanan dan di depan
setiap rumah, membuat para pengunjung leluasa membuang sampah ditempat yang
disediakan. Tahukah bahwa itu sebenarnya juga adalah pe-er buat warga Baduy
Dalam, karena mereka harus membakar sampah-sampah itu setiap pengunjung telah
meninggalkan desa mereka. Belum lagi tempat sampah yang ada di bilik pancuran
atau pemandian dimana banyak terdapat sampah pembalut yang tidak lagi
segan-segan dibuang ditempat tersebut. Kemana rasa malu kita (bagi yang merasa
perempuan)?
Perubahan
besar lainnya dari arus modernisasi yang masuk ke Baduy dalam adalah pedagang
makanan kecil dan kebutuhan sehari-hari seperti berbagai jajanan, gula, kopi,
bumbu dapur, bahkan rokok. Menyedihkan bagi para pencinta Adat Budaya Baduy
ketika menyaksikan anak-anak berlarian bolak-balik dengan jajajan ditangan,
rengekan di rumah-rumah dimana anak-anak meminta uang untuk jajan, para lelaki
yang malam-malam berkumpul ditempat pedagang untuk membeli dan menikmati mie
rebus instan, kopi dan ada yang mencoba-coba rokok. Rasanya hati ini menangis
dan teriris (jangan katakan lebay) melihat perubahan tersebut. Beberapa
orangtua pun telah mengeluh soal ini dimana anak-anak banyak yang merengek
minta jajan. Dan beberapa makanan yang membuat kita menelan ludah tanpa bisa
berbuat apa-apa adalah kadaluarsanya yang tidak dipahami oleh masyarakat awam
seperti masyarakat Baduy dalam yang tidak semuanya bisa membaca. Dan ini
benar-benar ditemukan, bahkan Safri yang menguasai bahasa Indonesia cukup baik
begitu juga baca tulis mengakui bahwa dia menemukan beberapa makanan yang
tanggal kadaluarsanya telah lama lewat yang seharusnya sudah tidak boleh
dikonsumsi.
Terkait
dengan inipun terasa nyata dampaknya dimana banyak warga yang terkena penyakit
batuk. Makanan yang tadinya alami dan sehat yang biasa mereka konsumsi berubah
dengan jajanan yang mengandung pewarna dan bumbu-bumbu begitu juga untuk
masakan yang mulai berubah dengan menambahkan penyedap rasa kemasan. Tanya pun
sempat terlontar kepada beberapa orang yang dikenal di Cibeo dan baduy luar,
namun jawabannya seperti menyimpan banyak hal yang seperti membias tak
tersampaikan. Masalah pedagang ini awalnya mereka hanya pedagang yang melintas
saja dari desa ke desa, entah siapa yang memberi izn dan membolehkan awalnya kemudian
menumpang bermalam dirumah salahsatu warga, dan akhirnya berani untuk buka
lapak didepan rumah. Dari semalam kemudian kebablasan dua tiga malam. Kemudian
ditegur mereka pergi meninggalkan baduy dalam, tetapi besoknya masuk pedagang
lain yang juga bermalam, begitu seterusnya sehingga warung dadakan ini bisa
dikatakan buka setiap hari. Maka berperanglah antara dua kepentingan antara
pedagang yang mencari uang dan warga yang memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan
tanpa bersusah payah turun ke pasar dengan aturan yang harus ditaati.
Sebulan
kemudian kembali lagi masuk ke wilayah Kanekes di hari biasa untuk menjumpai
beberapa kenalan, memilih jalur atau pintu depan yaitu Ciboleger. Agak
terkaget-kaget namun dengan hati yang cukup senang mendengar cerita Juli dan
Mursid (anak Ayah Mursid yang sudah tinggal di Baduy Luar) tentang adanya razia
di wilayah Kanekes. Razia? Jangan bayangkan Polisi berseragam yang merazia di
jalan raya atau Satpol PP yang merazia pedagang kaki lima. Razia ini dilakukan
oleh para jaro dan tetua adat baduy atas perintah ketiga Puun dan kesepakatan
bersama para tetua adat, untuk mengembalikan kebiasaan dan tatanan hidup sesuai
dengan adat dan budaya. Cerita Juli dan
Mursid ini akhirnya bisa dilihat di desa-desa yang berada di Baduy Luar dimana
begitu banyak perabotan rumah tangga yang dikeluarkan dari rumah dan ditumpuk
di halaman yang cukup luas di masing-masing desa tersebut.
Berbincang
dengan Kang Emen dari Baduy Luar yang cukup terkenal dikalangan tamu atau
pengunjung dan sering mewakili masyarakat Baduy di pameran-pameran untuk
kerajinan Baduy, dia mengatakan bahwa Razia bukan berarti para tetua adat
memeriksa setiap rumah dan mengeluarkan dengan paksa barang-barang tersebut
dari dalamnya. Tetapi setiap warga terutama yang muda-muda dengan kesadaran
penuh mengakui kesalahannya dan mengeluarkan sendiri barang-barang yang
seharusnya tidak boleh mereka miliki. Dan barang-barang tersebut ditumpuk jadi
satu untuk bisa dilihat sebagai bukti oleh para tetua adat sebelum dimusnahkan.
Bukan
hanya peralatan rumah tangga yang harus disingkirkan, ternyata pipa-pipa selang
air yang terbuat dari plastik harus dibongkar dan saluran air dikembalikan ke
awal yaitu dari bambu. Dan ini adalah pekerjaan yang tidak mudah karena harus
mengganti begitu banyak selang air yang cukup panjang dan tumpang tindih dari
sungai atau sumber air ke rumah-rumah. Namun mereka menerima itu sebagai konsekwensi
dari sebuah kesalahan dan mengikuti aturan tersebut dengan mulai membuat
salura-saluran air dari batang bambu. Hal ini mungkin akan berlangsung cukup
lama diawasi sehingga segala sesuatunya bisa kembali sesuai dengan amanah
buyut. Salah satu hal yang paling menggembirakan adalah dilarangnya pedagang
yang menetap atau bermalam masuk kembali ke Baduy Dalam. Dan hari ketika kami
masuk itu Cibeo benar-benar bersih dari pedagang. Kemudian apa yang di razia
dari rumah-rumah di Baduy Dalam?. Tidak banyak, hanya beberapa barang seperti
sendok logam, buku tulis dan pulpen dan gelas atau cangkir kaca. Untuk sendok
masih diperbolehkan disimpankan beberapa ditiap rumah tetapi tidak dipakai oleh
warga sendiri melainkan untuk dipergunakan ketika ada tamu yang datang. Untuk
barang-barang selain dari bahan bambu yang diperkenankan digunakan adalah
langseng untuk menanak nasi juga air, mangkuk-mangkuk dari bahan kaca untuk
tempat lauk, tempat minum (biasanya untuk minum menggunakan gelas dari bambu),
botol minum besar dengan satu bentuk yang sama yang terbuat dari kaca. Selain
bentuk tersebut maka tidak diperbolehkan untuk digunakan. Walau ada sedikit
keluhan dari beberapa orang tentang razia ini, namun mereka sepakat jika bukan
dari diri sendiri yang diingatkan oleh para tetua adat, siapa lagi yang akan
menjaga adat dan budaya mereka sendiri yang berasal dari leluhur. Jika tidak,
maka suatu hari adat istiadat Baduy tersebut akan menghilang dan tidak akan ada
Baduy lagi, begitulah pendapat mereka yang muda-muda yang mentaati peraturan
tersebut.
Lantas
siapakah para tetua adat yang dimaksud secara bersama-sama melakukan
pemeriksaan dan menetapkan kembali peraturan itu? Baduy Dalam dan Baduy Luar
walaupun dibedakan oleh sedikit cara hidup, tetapi dalam keyakinan dan adat
tetap menjadikan Baduy Dalam lah sebagai sumber keyakinan, kepercayaan dan adat
bagi seluruh masyarakat Baduy. Baduy Dalam dan Baduy Luar dipimpin oleh tiga orang
Pu’un (orang yang dituakan dan yang dipercaya sebagai pemimpin) yang hanya ada
di Baduy Dalam (Cibeo, Cikeusik dan Cikartawana). Ketiga Pu’un menjadi tempat
bertanya, berlindung dan penentu keputusan adat, sekaligus sebagai guru
spiritual yang dihormati dan disegani bagi seluruh warga Baduy Dalam maupun
Baduy Luar.
Ketiga
Pu’un mempunyai fungsi dan perannya masing-masing. Pu’un Kampung Cikeusik
mempunyai tugas dan fungsi sebagai penanggung jawab dalam hal spiritual
keagamaan. Karena itu, Kampung Cikeusik tidak begitu terbuka untuk umum dan
jarang didatangi. Sedangkan Pu’un dari Kampung Cibeo bertugas dan bertanggungjawab
dalam hal memelihara dan menjaga serta melaksanakan pelayanan untuk
warga. Itu sebabnya Kampung Cibeo lebih terbuka dan mudah didatangi oleh
pengunjung yang datang dari luar. Adapun Pu’un dari Kampung Cikartawana
bertanggung jawab dalam hal perlindungan kawasan hutan Baduy. Baduy Dalam
adalah masyarakat Baduy asli yang masih menjaga keutuhan nilai-nilai kebudayaan
secara sungguh-sungguh.
Posisi
Kampung Baduy Luar menyebar dan melingkari keberadaan tiga Kampung Baduy Dalam.
Kampung Baduy Luar terbagi ke dalam 60 kampung yang dipimpin oleh Jaro.
Diantaranya Kampung Kaduketug Tonggoh, Babakan Cipondok, Kaduketug Landeu,
Kadujangkung, Cihulu, Karahkal, Cigula, Kaduketer, Ciwaringin, Sorkokod,
Gerendeng, dan lain-lain. Satu kampung lain yang dihuni oleh orang luar Baduy
ialah Kampung Cicakal Girang. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari Pu’un
dibantu oleh seorang Jaro Tanggung Duabelas, Jaro Pamerintah Adat dan Jaro
Tujuh yang berasal dari Baduy Luar.
Selain
itu Pu’un juga dibantu oleh Baresan Salapan, berasal dari masing-masing
kampung, berjumlah sembilan orang di setiap Kampung Baduy Dalam, serta tiga
orang jaro adat di Kampung Baduy Dalam, Jaro Tujuh dari Kampung Baduy Luar yang
berjumlah tujuh sampai dengan delapan orang, Girang Seurat dari Baduy Luar, dan
Kokolot Lembur dari masing- masing kampung di desa Kenekes. Semua memiliki
tugas masing-masing dan bersinergi dalam menjalankan dan mempertahankan adat
budaya amanah Buyut.
Seorang
Pu’un adalah pimpinan tertinggi di dalam struktur pemerintahan adat masyarakat
Baduy. Pu’un hanya ada tiga orang yang berada di Kampung Cibeo, Cikartawana dan
Cikeusik. Ketiga Pu’un memiliki kuasa yang sama antara satu dengan yang
lain dan wilayah kekuasaan yang sama pula, yakni seluruh kampung di Baduy Dalam
dan Luar. Selain sebagai pimpinan tertinggi dalam struktur pemerintahan
tradisional, Pu’un juga mengeluarkan kebijakan dan aturan-aturan yang
mendasar pada ajaran dan adat istiadat warisan leluhur mereka yaitu Sunda
Wiwitan. Syarat untuk menjadi Pu’un diantaranya harus mampu memimpin, menguasai
adat istiadat Baduy serta melaksanakan ajaran Sunda Wiwitan secara konsisten
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Pu’un diawasi
oleh Tangkesan sebagai penasehat yang disegani oleh ketiga Puun tersebut. Dan
Tangkesan tidak dapat memberhentikan Pu’un.
Seurut
atau Girang Seurat adalah pejabat yang membantu tugas kepu’unan khususnya
dibidang kepengurusan huma serang (ladang Pu’un) dan sebagai penghubung antar
Pu’un, Kokolot Lembur, Kokolotan, Jaro, dan pejabat lain. Girang Seurat
diangkat dan diberhentikan oleh Pu’un. Selain itu, Girang seurat bertugas
mewakili Pu’un dalam pertemuan-pertemuan tertentu dengan tamu-tamu yang datang
dari pemerintahan apabila Pu’un berhalangan. Masa jabatan yang diemban oleh
Girang Seurat tidak dapat ditentukan selama masih dianggap mampu. Seorang akan
diberhentikan dari jabatan Girang Seurat dengan sendirinya apabila
dianggap tidak mampu lagi atau meninggal dunia.
Istilah jaro lazim digunakan untuk menyebut kepala desa atau lurah. Istilah
ini sudah dipakai sejak lama di Baduy untuk menyebut kepala Desa Kenekes
sebagai wilayah ulayat masyarakat Baduy. Terdapat lima orang jaro yang memiliki
kewenangan dan tanggung jawab yang berbeda satu dengan yang lain. Satu orang
Jaro Pamarentahan, kemudian satu orang Jaro Warega, dan tiga orang Jaro Adat
atau disebut juga Jaro Tangtu. Tugas Jaro Pamarentahan hampir sama dengan
jaro-jaro lain di desa-desa di luar Baduy, khususnya di Provinsi Banten dan di
Indonesia pada umumnya, yakni mengurus pemerintahan di desa. Jaro Pamarentahan
dipilih dan ditentukan oleh Pu’un berdasarkan hasil musyawarah Bares Kolot
untuk kemudian disyahkan oleh Camat Leuwidamar. Jaro Pamarentahan bertugas
sebagai penghubung kepentingan pemerintahan adat dengan pemerintahan formal
yang lazim disebut dengan kepala desa. Jaro Pamarentahan adalah warga Baduy
Luar yang memiliki kecakapan yang cukup dan dianggap mumpuni dalam mengurus
urusan aturan-aturan formal yang tidak ada di dalam aturan adat Baduy.
Jaro
Pamarentahan tidak seperti jaro-jaro atau kepala desa pada umumnya yang
memiliki batas waktu menjabat. Jaro Pamarentahan diangkat dan diberhentikan
oleh Pu’un dengan masa jabatan tidak ditentukan. Jaro Pamarentah akan
diberhentikan oleh Pu’un apabila melanggar adat dan dianggap kurang bertanggung
jawab terhadap warga, atau apabila meninggal dunia.
Jaro
Adat bertugas menangani kepentingan sosial kemasyarakatan di wilayah Baduy
Dalam saja berdasarkan hukum dan aturan adat dan kepercayaan Sunda Wiwitan.
Sedangkan Jaro Warega memiliki tugas keagamaan yang menjalankan kewajiban
masyarakat Baduy dan mewakilinya untuk mengontrol keadaan hutan adat dan hutan
titipan lain di luar Baduy.
Jaro
Adat dan Jaro Warega dipilih dan diberhentikan oleh Pu’un dan bertanggung jawab
kepada Pu’un. Jaro adat dan Jaro warega hanya bertanggung jawab kepada Pu’un di
tiga Kampung Baduy Dalam. Seperti pejabat pemerintah adat Baduy lain, seluruh
masyarakat Baduy tidak satu pun yang mencalonkan diri, bahkan mereka merasa
was-was apabila ditunjuk oleh pu’un untuk menjabat, karena beban amanat yang
dipikul cukup berat. Mereka khawatir tidak bisa menjalankan tugas dengan baik
dan benar.
Jaro
Tujuh atau tujuh jaro (jumlahnya tujuh sampai delapan orang), tersebar di
beberapa kampung: Kampung Cihulu, Kadu Ketug, Cisaban, Sorkokod, Jareng (Desa
Kenekes) dan Kampung Nungkulan (Desa Cisimeut). Masing-masing kampung memiliki
satu jaro tujuh, kecuali di Kampung Kadu Ketug yang berjumlah dua orang Jaro
Tujuh, yakni di Kadu Ketug Tonggoh dan Kadu Ketug Babakan Jaro.
Kokolot
Lembur adalah orang yang dianggap sesepuh kampung. Ia dipilih oleh masyarakat
kampung karena dianggap memiliki disiplin adat yang kuat dalam kehidupan
sehari-hari dan taat terhadap ajaran Sunda Wiwitan. Di setiap kampung di Baduy
hanya ada satu Kokolot Lembur, Kokolot Lembur tidak dapat dipilih dan
diberhentikan oleh Pu’un, namun masyarakat kampung itu sendiri yang memilih dan
memberhentikan. Tugas Kokolot Lembur sebagai guru atau penasehat masyarakat
akan ajaran Sunda Wiwitan. Dia bisa menguasai ilmu pengobatan alternatif dan
pengobatan tradisional. Dengan kecakapan yang dimiliki, Kokolot Lembur
senantiasa diminta bantuan oleh masyarakat setempat untuk mengobati yang sakit.
Kokolotan
adalah orang yang dianggap paling patuh tehadap ajaran Sunda Wiwitan dalam
kehidupan sehari-hari, dan pengetahuannya berada di atas rata-rata kokolot
lembur lain. Kokolotan dipilih oleh Bares Kolot dan hanya ada dua dalam
kokolotan di Baduy, tidak pernah lebih atau kurang. Kokolotan bertugas
mengawasi dan menasehati Tangkesan, Tidak ada yang memberhentikan Kokolotan
kecuali mengundurkan diri, karena ketidakmampuan, atau meninggal dunia. Kokolatan
berasal dari Kampung Baduy Luar. Selain
Kokolotan, ada juga kokolotan lain yang tinggal di setiap kampung, namun tidak
memiliki kewenangan seperti kedua kokolotan tadi. Kewenangannya sebatas sebutan
karena faktor usia dan pengalaman. Seorang Tangkesan harus patuh kepada
kokolotan bila diperintah dan dinasehati. Tidak satu pun yang berhak menasehati
Tangkesan kecuali kokolotan.
Jaro
Tanggungan Dua Belas atau biasa disebut dengan Jaro Tanggungan adalah salah
satu warga Baduy Luar yang dipilih oleh Kokolot Lembur, Kokolotan, Tangkesan
dan Pu’un berdasarkan hasil musyawarah mufakat. Jaro Tanggungan Dua Belas
bertugas memberikan perlindungan hukum kepada seluruh masyarakat Baduy atas
perilaku di luar batas wilayah Baduy maupun di wilayah Baduy yang dapat merugikan
orang lain atau dirugikan oleh orang lain. Tugas lain dari Jaro Tanggungan
adalah memberikan bimbingan kepada seluruh masyarakat Baduy untuk menjaga sikap
dan perilaku yang sewajarnya dalam kehidupan sosial. Jaro Tanggungan berasal
dari Kampung Kadu Keter (Baduy Luar).
Kemudian
ada lagi Tangkesan atau Bapak Kolot adalah penasehat Pu’un yang berasal
dari Baduy Luar dan biasanya dari Kampung Cicatang. Tangkesan dipilih oleh
hasil musyawarah Kokolot dan Kokolotan. Jumlah Tangkesan hanya satu orang saja,
dimana kewenangannya adalah menasehati dan mengawasi tugas para Pu’un apabila
mereka melakukan kesalahan. Pu’un hanya akan menerima teguran atau nasehat dari
Tangkesan saja. Kewenangan lain adalah berhak mengawinkan warga Baduy
berdasarkan adat dan ajaran Sunda Wiwitan.
Kepala
Pemuda adalah pemimpin pemuda kampung, dipilih oleh hasil musyawarah dan
mufakat warga kampung. Di setiap kampung terdapat satu orang kepala pemuda,
yang bertugas memimpin dan mengerahkan seluruh kegiatan pemuda di kampung:
gotong royong pembuatan jembatan, kegiatan keagamaan serta kegiatan kebersamaan
lain.
Kepala
Kampung adalah pemimpin kampung, dipilih oleh hasil musyawarah dan mufakat
warga kampung. Di setiap kampung terdapat satu orang kepala kampung. Tugas
utamanya memimpin dan mengerahkan seluruh warganya dalam setiap
kegiatan-kegiatan gotong royong pembuatan jembatan, jalan, rumah dan atau dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan. Kemudian di setiap kampung pun ada Kepala Pemuda, yang
dipilih oleh hasil musyawarah dan mufakat warga kampung. Di setiap kampung
terdapat satu orang kepala pemuda, yang tugasnya membantu kepala kampung
mengerahkan pemuda untuk kegiatan-kegiatan seperti disebut diatas
Selanjutnya
adalah Palawari yang merupakan sebutan bagi penduduk yang membantu dalam
penyelenggaraan kegitan-kegiatan seremonial, atau kegiatan gotong royong atau
kegatan insidentil lain yang dilakukan di sekitar kampung. Palawari mirip
seperti kepanitiaan yang sifatnya sementara. Misalnya dalam kegiatan gotong
royong untuk pembaruan jembatan, atau “Nyieun Cukangan” yang dilakukan tiap
satu hingga dua tahun sekali, dibutuhkan kelompok panitia. Ada kelompok yang
bertugas mengikat bambu tiang gantung di atas pohon, pembuat tali, pengirim
bambu, pemotong bambu, pengikat bagian pijakan jembatan sampai dengan yang
memasak nasi untuk yang bekerja. Jadi, tidak ada pembagian tugas berdasarkan
perintah dari seorang pimpinan atau kepala kampung, namun lebih menekankan
kesadaran masing-masing untuk bekerjasama sesuai kemampuan dan tugas
masing-masing.Mereka yang menyadari dan menjalankan tugas sesuai kemampuan
pribadi itulah yang disebut dengan Palawari.
Barisan pimpinan adat dan
pemerintahan dan kokolot inilah yang membuat segala sesuatunya berjalan tetap
sesuai dengan adat. Pengetahuan dan
pemahaman para tokoh Baduy tentang adanya bahaya ancaman modernisasi yang mulai
merangsek masuk mendekati lingkungan mereka, makin meningkatkan kesadaran untuk
melakukan antisipasi menjaga keutuhan nilai-nilai Baduy hingga akhir zaman.
Hukum adat dan agama Sunda Wiwitan terus dikembangkan, dihidupkan dan diajarkan
kepada anak-cucu dan generasi muda sebagaimana telah dilakukan secara turun
temurun. Mempertahankan nilai-nilai adat dan agama Sunda Wiwitan
merupakan harga mati, tak bisa ditawar. Ini bukan semata berkaitan dengan
kepentingan hidup komunitas, tetapi juga berhubungan erat dengan upaya menjaga
keselamatan bumi dari kerusakan dan kehancuran. Orang Baduy sudah menyaksikan
sendiri betapa lingkungan alam dan hutan di mana-mana di penjuru tanah air dan
di belahan dunia, sudah rusak, hancur, sebagian besar hilang dan punah.
Orang Baduy juga harus tetap menjaga keutuhan
nilai-nilai ke-Baduy-an, berkaitan dengan upaya menjaga harmonisasi hubungan
antar umat manusia. Mereka tidak boleh marah antar sesama, tidak boleh
berbohong, berzinah, minum-minuman keras, dan harus turut dan manut pada para
tetua sebagai pemangku agama dan adat Baduy di tengah semua sistem nilai yang
berlaku di banyak agama dan adat sudah mulai berubah dan ditinggalkan umat.
Konflik antara agama, antar kelompok, antar suku, dan antar Negara terus
berlanjut tanpa berkesudahan. Cara orang menjalankan syari’at agama di luar,
makin berubah dan berkembang menjadi banyak sekte dan aliran, mengikuti
perkembangan zaman dan tuntutan materialisme (berorientasi kebendaan) serta
hedonism (kenikmatan duniawi). Hukum adat yang menjadi pengikat keutuhan dan
harmonisasi hubungan antar masyarakat dan manusia dengan alam, di daerah-daerah
wilayah Indonesia makin ditinggalkan oleh generasi muda, karena bujukan dan
rayuan pola hidup modern. Identitas adat dan kebudayaan Indonesia makin
tereduksi dan terancam punah. Yang terjadi saat ini adanya proses upaya
penghapusan identitas oleh sebuah kekuatan materialism dan kafitalisme.
Orang Baduy mensikapi perubahan-perubahan yang terjadi
di luar melalui penerapan hukum adat dan agama secara konsisten dengan satu
keyakinan teguh bahwa jika lingkungan Baduy berubah, mengikuti arus
modernisasi, itu tanda-tanda dunia dan bumi akan mengalami kehancuran. Keyakinan
itu didasari oleh kepercayaan mereka bahwa Orang Baduy hidup di sebuah lokasi
yang disebut pancer bumi (tiang bumi), daerah yang tergolong dalam inti jagat,
atau kawasan yang harus dijaga. Karena berada di inti bumi, maka keseluruhan
nilai-nilai adat dan agama yang melandasi keseluruhan sikap hidup sehari-hari,
berorientasi pada upaya menjaga dan melastarikan bumi dari kehancuran.
Wiwitan artinya awal atau yang pertama. Sunda Wiwitan
berarti orang Pertama yang dibiarkan ada di hutan untuk menjaga titipan Nabi
Adam, menjaga dan memelihara panjer bumi, inti jagat. Itu sebabnya mereka yakin
dengan sistem nilai yang dianut, bahwa mereka adalah Cengcelengan Pangeran
(Tabungan Tuhan) yang tidak boleh berubah dan bergeser sedikit pun dari
rongrongan dan desakan modernisasi. Karena hanya di Baduy lah salah satu
ciptaan dan milik Tuhan yang hingga kini masih tersisa utuh dan belum berubah
persis seperti Nabi Adam dahulu diturunkan ke muka bumi. Kalau Baduy berubah
seperti daerah dan masyarakat lain di penjuru dunia, maka menurut keyakinan dan
kepercayaan orang Baduy, bila hal itu benar-benar terjadi maka Orang Baduy
percaya dan meyakini bahwa saat itulah dunia akan mengalami kehancuran. Karena
itu lah ketika dirasa perlu untuk kembali mentertibkan tatanan hidup tersebut ,
barisan pemangku adat dan kokolot bersepakat untuk terus memberikan pengawasan
terhadap masyarakat adat mereka.
Sebagai desa wisata adat
dimana masyarakat Baduy menerima kunjungan tamu dari luar (kecuali warga negara
asing atau orang-orang tertentu yang tidak diizinkan masuk), Baduy pun makin
berbenah diri, dengan tetap memperhatikan peraturan adan adat dan budaya
mereka. Jalan-jalan di baduy luar yang semakin rapih dengan jalan berbatu
tersusun rapi, bangku-bangku dari bambu disediakan di setiap bagian yang
dianggap sebagai tempat beristirahat pengunjung yang lelah berjalan, begitu
juga keranjang-kerangjang anyam tempat sampah telah banyak tersedia. Namun
masih saja banyak pengunjung yang membuang sampah sepanjang jalur yang mereka
lalui. Seorang ibu dari cibeo yang pagi itu berangkat keladang bersamaan dengan
kami sempat mengeluhkan soal itu, sambil memungut sampah yang ditemuinya. Aku
mencoba membantunya dengan memungut sampah-sampah tersebut, dan mengumpulkannya
kekantong yang dibawanya. Nanti akan dibakar diladang ucapnya sekilas dengan
bahasa Indonesia yang cukup lancar.
Jika kita turut peduli dengan
tatanan hidup dan adat budaya mereka yang kita sebut dengan kearifan lokal itu,
maka berikut Tips jika ingin berkunjung kesana:
-
Kenali terlebih dahulu peraturan-peraturan yang
ada
-
Berpakaian yang sopan
-
Tidak mengotori sungai dengan sabun, sampo
ataupun odol
-
Tidak membuang sampah sembarangan
-
Packinglah perbekalan yang dibawa yang
meminimalisir sampah
-
Jika ingin makan bersama mereka bawalah bahan
makanan sederhana yang biasa mereka konsumsi juga seperti beras, ikan asin, telur,kerupuk,
lalapan dan sambel.
-
Bawalah lebih banyak keperluan sehari-hari
seperti minyak goreng, gula, teh, kopi sebagai oleh-oleh, sehingga kebutuhan
sehari-hari mereka sedikitnya terbantu
-
Jika ingin membawakan anak-anak baduy makanan
bawalah makanan atau jajanan yang sehat
-
Tidak membuat keributan selama berada dikawasan
baik Baduy Luar maupun Baduy Dalam
-
Jujurlah dengan peraturan untuk tidak
menggunakan kamera ataupun alat elektronik lainnya seperti handphone selama
berada diwilayah Baduy Dalam, tidak menggunakannya secara diam-diam
-
Bawalah perlengkapan sendiri jika tenaga angkut
yang disediakan adalah anak-anak kecil dari Baduy Dalam
-
Hargai adat dan budaya mereka dengan mentaati
peraturan yang diterapkan
Sebagai orang yang peduli
terhadap keberlangsungan hidup masyarakat adat Baduy, kitapun harus terus
mendukung prinsip hidup dan peraturan yang mereka miliki. Hingga Kanekes atau
Baduy tetap ada sebagai warisan leluhur yang memberi teladan tentang kearifan
lokal bagaimana menjaga gunung hutan dan bumi secara bijak dan lestari.
(dari wawancara, diskusi dan
beberapa sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar