Kamis, 14 Januari 2016

BADUY, PERJALANAN HATI MENGHARGAI SEBUAH ADAT BUDAYA



Berawal dari sapa melalui pesan singkat di telephone genggam dari seorang sahabat cilik yang tinggal di Cibeo, yang bertanya kapan mau berkunjung kerumahnya karena dia takut musim durian sebentar lagi habis, dia tidak akan sempat menyuguhi durian yang berasal dari ladangnya seperti yang dijanjikannya. July namanya, anak muda yang berasal dari Cibeo yang adalah merupakan salah satu kampung yang berada di Baduy Dalam. Kenapa dia bisa mengirim pesan singkat itu serta menelpon aku? Bukankah Baduy Dalam sama sekali tidak mengenal modernisasi? Barangkali Adat istiadat dan Budaya mereka tetap sama dan terjaga, namun bukan berarti mereka tidak mengenal dunia luar. Sebagian besar dari mereka sangat fasih berbahasa Indonesia, dan bisa baca tulis. Mengenai telephone genggam itu sendiri, tidak pernah mereka miliki di dalam lingkungan Baduy Dalam. Mereka memilikinya untuk berhubungan dengan dunia luar, dan meletakkannya di rumah kerabat mereka yang berada di Baduy Luar. Dan menggunakannya pada saat-saat tertentu ketika mereka turun dan keluar dari wilayah adat.

Aku mengenal Baduy atau mereka sering menyebutnya Kanekes, untuk pertama kali saat organisasi yang aku ikuti melakukan pengkaderan. Melakukan longmarch, sapu bersih sampah yang ada disepanjang jalur Cijahe – Cikeusik – Cibeo – Cikartawarna hingga Ciboleger. Lsm yang aku ikuti memiliki sejarah panjang dalam kedekatan secara emosional dengan Masyarakat baduy. Perjalanan senyap yang sangat membekas dalam ingatanku, tertanam bahwa kami tidak akan pernah mengusik ketenangan mereka juga adat istiadat yang ada. Perjalanan senyap yang tercatat di dalam hati, karena kecintaan yang mendalam terhadap kehidupan mereka yang begitu sederhana dan bersahaja.

Kedekatan dengan masyarakat Baduy pun terjalin erat dengan pertemuan dan silaturahmi baik di kawasan Kanekes atau sebuah Hutan yang terletak tidak jauh dari Ciboleger, salahsatu pintu masuk ke wilayah Baduy.  July adalah salahsatu anak muda yang sangat aku kenal, begitupun keluarganya.  Dan untuk memenuhi undangannyalah aku mendadak berangkat kesana bersama seorang kawan perempuanku. Memilih hari minggu, hari yang tidak biasa untuk melakukan perjalanan. Kami memilih berangkat hari minggu, karena tidak ingin menambah jumlah pengunjung yang begitu ramai di setiap akhir pekan memasuki wilayah mereka. Dan benar, ketika elf yang kami tumpangi tiba di Ciboleger, begitu banyak motor dan mobil terparkir, serta pengunjung yang baru turun dari Baduy Dalam atau yang datang untuk sekedar mencari cinderamata di baduy Luar. July sudah sejak jam 9 pagi menunggu kami disana.





Karena tujuanku adalah ke rumah July, kami tidak begitu mempedulikan akan lewat mana di bawanya. Dan dia membawa melalui jalur yang biasa, yaitu melewati gajeboh, salah satu jalur menuju Cibeo. Jalur lainnya adalah melalui danau Dangdang dan Jembatan Akar. Perjalanan dimulai dari perbatasan Ciboleger dan Baduy Luar yang ditandai dengan sebuah tugu yang tepat berada di ujung jalan kampung Kadu Ketug (Baduy Luar). Disini pengunjung yang ingin masuk ke wilayah Baduy Dalam harus mengurus izin di rumah Jaro Daenah, orang yang menjabat sebagai  Jaro Pamarentahan.  Memasuki Kampung Kadu Ketug yang tertata rapi, kita akan langsung menyaksikan bagaimana wanita-wanita Baduy menenun, dan hampir disetiap rumah terdapat hasil kerajinan tangan yang bisa dibeli sebagai oleh-oleh khas Baduy, seperti selendang/syal tenun, sarung tenun, gelang-gelang dan tas koja dan lainnya.







Kami terus berjalan melewati desa Kadu Ketug yang ramai oleh pengunjung, seperti layaknya sebuah desa wisata. July ternyata telah lebih dahulu melaporkan kepada Jaro Daenah tentang kedatangan kami, sehingga tak perlu lagi singgah di rumah Beliau, walaupun sebenarnya aku ingin bersilaturahmi menemui beliau. Kami masih sempat berpapasan dengan beberapa pengunjung yang baru turun. Setelah itu hanya kami bertiga yang melintasi jalan menuju gajeboh. Sesekali berpapasan dengan warga Baduy Luar. Saat melewati sebuah pintu diujung kampung sebelum dihadapkan pada sebuah tanjakan yang panjang, langit mulai mendung. July mengajak kami bergegas dan mempercepat langkah untuk melewati tanjakan tersebut. Dan benar , hujan pun turun ketika kami sudah hampir melewati tanjakan. Dan semakin deras ketika mendekati sebuah kampung terakhir sebelum memasuki wilayah Baduy Dalam. Disini kami berhenti sejenak menanti hujan reda. Aku begitu menikmati hujan dan bau tanah yang selalu membuat rindu pada perjalanan-perjalanan seperti ini.





Ketika hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Aku segera menyimpan kameraku dan mempercepat langkah. Walaupun masih diizinkan untuk memotret , namun aku memilih untuk menikmati semua yang terlewati dalam hati saja. Mencoba menyimpan dan mengabadikannya dalam hati, sebagai sebuah perjalanan hati, mengambil banyak pembelajaran dari tatanan hidup mereka. Bagaimana mereka bertahan dan setia pada adat istiadat dan ajaran-ajaran leluhur. Mengutip sebuah tulisan yang mengungkapkan perkataan dari Jaro Na’im seorang Jaro dari Cikartawarna “ Keun wae batur berubah, urang mah moal berubah “ (biarkan saja orang berubah, kami tak akan berubah), mensikapi perubahan-perubahan diluar melalui penerapan adat dan hukum serta berpegang teguh pada keyakinan jika Baduy mulai terpengaruh pada arus modernisasi maka itu pertanda bumi akan hancur. Keyakinan itu didasari oleh kepercayaan bahwa baduy berada pada wilayah yang merupakan titik yang disebut Pancer bumi (tiang bumi), wilayah yang tergolong berada di inti bumi, kawasan yang harus dijaga. Karena berada di inti bumi, maka seluruh nilai-nilai adat dan agama yang melandasi hidup sehari-hari harus berorientasi pada upaya menjaga dan melestarikan bumi, menyelamatkan bumi dari kehancuran.

Hutan , Bukit , sungai yang begitu terjaga menyambut langkah-langkah kami. Tak banyak bicara. Kesenyapan mewarnai setiap langkah kami. July anak muda Cibeo itu sebagaimana umumnya orang Baduy, tak banyak bicara, tapi dia akan menjawab dan bercerita untuk setiap pertanyaan yang diberikan. Sesekali aku menyela langkahnya dengan pertanyaan-pertanyaanku. Pertanyaan yang tak pernah aku berikan sekaligus pada saat berkunjung sebelumnya. Salah satu pertanyaanku adalah “ Jul, apa kamu pernah memiliki keinginan untuk hidup seperti orang luar, punya ini itu dan sebagainya?”. Dan aku menyesal sudah mengganggunya dengan pertanyaan itu. Tapi July tetap menjawab pertanyaan itu , “ Tidak, karena kehidupan kami ya begini, yaa harus tetap  hidup seperti ini”. Kemudian pertanyaan lain “ ketika kamu ke luar, ke jakarta, apa pernah kamu mencoba naik kendaraan?”. “tidak” jawabnya singkat. Kenapa, bukankah jauh dari wilayah Baduy, dan tidak akan ada yang mengadukan jika pun mereka menaiki kendaraan ? . July hanya menjawab sederhana saja “ harus jujur dan mentaati semua adat istiadat dimanapun berada”. Tuhan, aku tiba-tiba tertusuk mendengar semua itu. Betapa mereka yang hanya mempercayai adat dan hukum yang berlaku, begitu taat dan patuh pada aturan-aturan yang melandasi hidup mereka. Kejujuran yang tak pernah ternodai sedikitpun. Betapa banyak manusia diluar mereka yang mengaku ber-Tuhan dan ber-Agama, namun tak pernah ada sedikitpun rasa takut ketika melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan-aturan dan melakukan kecurangan-kecurangan untuk kepentingan hidupnya.

Aku melangkahkan kakiku , sesekali mengusap keringat dan berhenti sejenak untuk melepas penat di kakiku. Sesekali aku dan Nunik mencandai July dan tertawa melihat mukanya yang memerah di bawah terik matahari. July buatku adalah seorang saudara, seorang adik, sehingga aku merasa dekat dengannya juga keluarganya. July biasanya melakukan perjalanan bersama 3 orang sahabat dan juga saudaranya yaitu Jaku, Pulung dan Misja (anak dari Ayah Mursid). Tapi terkadang juga dengan teman lainnya. Persaudaraan mereka sangat kental sebagaimana adat istiadat mereka yang mengedepankan kebersamaan dan gotongroyong.

Tanpa sadar kami sudah sampai di jembatan terakhir diperbatasan wilayah Baduy Luar dan Baduy Dalam. Sekali lagi aku mengeluarkan kameraku untuk memotret Nunik yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di Baduy. Setelah ini memasuki wilayah Baduy dalam, tidak diperbolehkan menggunakan kamera atau apapun barang-barang elektronik. Namun banyak pengunjung yang masih mencuri-curi mengambil gambar di wilayah ini biasanya. Dan itu tanpa sepengetahuan mereka yang telah menjadi petunjuk jalan yang adalah warga Baduy Dalam sendiri. Buatku itu adalah kejahatan, sebuah kecurangan. Bagaimana kebaikan dan kejujuran mereka telah dikhianati dan dilukai. Melewati tanjakan terakhir sebelum turunan menuju kampung Cibeo kami disuguhi pemandangan indah setelah hujan, yaitu hutan dan bebukitan yang berkabut, dan setitik cahaya matahari muncul dibalik awan yang berkabut. Aku merekamnya dengan mata hati, dengan segenap rasa, aku begitu mencintai tempat ini, dan akan selalu kembali kesini. Nunik pun menghentikan langkah dan menikmati hal yang sama denganku.

Kami memasuki kampung Cibeo yang didahului dengan sebuah jembatan yang seperti sebuah gerbang pintu masuk, tepat jam 5 sore. Dan menemukan warga kampung Cibeo yang sedang berada di luar rumah masing-masing, setelah pulang dari huma dan ladang. Kami duduk di depan rumah July, dan menyapa serta menjawab sapa setiap orang yang lewat dihadapan kami. Tamu-tamu pengunjung telah pulang, dan denyut kehidupan warga kampung Cibeo kembali normal seperti biasa. Sekarang hampir setiap minggu kampung ini dipenuhi oleh pengunjung. Cibeo adalah satu dari tiga kampung di baduy dalam, dan satu-satunya yang terbuka untuk orang luar. Sementara Cikeusik dan Cikartawarna agak tertutup dan lebih menjaga dan membatasi menerima orang luar.

Kami dipersilahkan masuk kerumah July oleh kakak iparnya yang sudah aku kenal. Seorang bayi berada dalam gendongannya, sementara si kakak bernama Yati yang sudah besar mondar-mandir dihadapan kami. Dia tidak lagi malu-malu ketika aku bersalaman dengannya. Si kecil Sahira tampak mulai ngantuk dan kemudian tertidur digendongan ibunya. Sayang, aku tidak bisa bertemu dengan jaku, Pulung dan Misja, yang menurut July mereka semua sedang ke ladang masing-masing. Ketika hendak shalat maghrib July pamit meninggalkan kami untuk pergi mandi. Setelah aku dan Nunik shalat maghrib, July telah kembali dan terlihat bersih dengan pakaian barunya yang juga berwarna putih bersih. Dan setelah itu dia benar-benar menyuguhkan durian untuk kami, yang berasal dari kebon dan ladangnya sendiri. Sungguh berbeda dengan durian yang dijual di jakarta, durian Baduy terasa begitu nikmat, dan dagingnya empuk sekali. Nunik yang tidak suka durian setelah aku paksa-paksa untuk mencicipi, akhirnya makan juga beberapa buah. Dan setelah itu kami benar-benar merasa merepotkan, ketika july dan keluarganya menyediakan makan malam untuk kami berdua. Kami pun makan bersama keluarga itu, menikmati nasi hangat yang berasnya berasal dari padi ladang yang mereka tanam, bersama lauk asin dan telor dadar, serta lalap pete. Sekali lagi Nunik yang tidak suka pete mencoba juga akhirnya. Menikmati makan malam sambil bercerita dengan keluarga itu, kami merasa seperti di rumah sendiri. Dan makan malam itu ditutup dengan secangkir air nira yang dibawa oleh abang July yang tadi baru pulang dari ladang. Penerangan yang ada di rumah ini hanyalah lampu minyak yang digantungkan di dinding bambu itu. Mereka menyimpan beberapa batang lilin yang di dapat dari pengunjung yang datang dan bermalam disitu.

Setelah kembali menyantap beberapa potong buah durian lagi, aku dan Nunik turun ke sungai diantar oleh kakak ipar July. Kehidupan malam di kampung Cibeo telah senyap. Saat itu masih pukul 20.00. kami shalat isya, kemudian merebahkan tubuh di atas tikar yang disediakan untuk kami.  Si kecil Sahira dan yati tidur di ruangan dapur bersama ibunya. Ibu July menempati satu-satunya kamar yang ada dirumah itu. Sementara July pamit keluar, dan ternyata dia tidur dirumah sebelah yang juga adalah rumah neneknya. Kami menikmati kesunyian dan senyap malam di kampung Cibeo. Terasa damai dan tenang.

Subuh aku dan Nunik terjaga dan terasa malas keluar dari sleepingbag kami, karena terasa sangat dingin. Tapi akhirnya keluar dan turun ke sungai untuk mengambil wudhu. Belum terlihat satupun mereka yang keluar dari rumah masing-masing. Dan ketika terang menyambut pagi, July telah kembali kerumah. Sibuk membuka durian dan membungkusnya untuk kami bawa, dibantu abangnya. Aku dan Nunik merasa tidak enak, tetapi juga tidak bisa menolak. (dalam hati sih senang juga :D). Mereka sungguh baik, dan kali ini aku menyesal tidak sempat membawakan mereka ikan asin sebagai oleh-oleh untuk mereka seperti biasanya.

Ketika bersiap-siap untuk kembali meneruskan perjalanan, dan sedang memakai sepatu didepan rumah July, banyak yang menyapa kami ramah. Tiba-tiba muncul  dihadapanku wajah seorang yang juga sangat tak asing buat aku ; Syafri. Dari kemaren pun aku mencari-carinya, ternyata pagi itu dia baru pulang dari ladang. Kami bersalaman dan seperti biasa saling bertanya kabar. Dan dia tetap masih hapal dengan namaku, walau begitu banyak tamu atau pengunjung yang telah datang kesana. Dan itulah mereka orang baduy pada umumnya, yang sangat kuat ingatannya dan menghargai setiap orang yang datang ke kampung mereka. Mereka mengingat semua tamu yang pernah berkunjung kerumahnya, ataupun yang pernah menyapa dan berinteraksi dengan mereka. Kami berpamitan dengan kakak ipar July, saat warga kampung Cibeo pun mulai berangkat meninggalkan rumah mereka menuju ladang mereka masing-masing. Syafri menyertai kami sampai di dekat rumahnya, dan berpamitan dengan kami.

Pulang kami mengambil jalur yang berbeda dengan kemaren. Aku meminta July untuk melewati jalur danau, karena aku ingin melihat danau itu lagi. Dan jalur dari Cibeo melalui jalur danau ini menuju Ciboleger sangat luar biasa. Keluar dari kampung melewati sebuah jembatan, kami langsung menempuh tanjakan yang seakan tiada henti. Sesekali berpapasan lagi dengan warga Cibeo yang melalui jalur itu untuk menuju ladang mereka atau sebaliknya. Dan kegiatan sehari-hari itu adalah juga sekolah buat anak-anak Baduy. Sejak pukul 6 pagi anak-anak baduy bersekolah di ladang dan hutan belantara. Mereka membawa golok, berjalan kaki puluhan kilometer, membuka huma, memasak di ladang, mempelajari perilaku alam, gejala dan sifat alam, mempelajari berbagai tanaman dan mengenal musim, sehingga mereka mampu mengenali alam dan menjaganya. Mempelajari setiap ajaran-ajaran dari orang tua mereka yang berasal dari para leluhur, sehingga semakin mereka memahami sejak kecil, bahwa mereka harus mempertahankan nila-nilai kehidupan yang mereka miliki untuk terjaganya alam dari kehancuran. Itulah sekolah ; bagi mereka. Dibalik kepolosan mereka, mereka bukanlah orang-orang bodoh. Dengan caranya sendiri mereka mampu mengetahui banyak hal dan mempelajari banyak hal, sehingga mereka cukup pintar menghadapi kehidupan.

July mengajak singgah disebuah ladang, dimana kakak perempuannya menetap disebuah rumah diladang itu.  Aku dan Nunik beristirahat sejenak disana, melepas penat yang mulai menjalari kaki. Dan kembali kami disuguhi disini, mencicipi buah langsat dari kebun milik mereka. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Jalur ini relatif lebih berat dari jalur kemaren, dengan turunan dan tanjakan yang sangat panjang.  Dan akhirnya kami sampai juga di danau Dangdang, yang berarti sudah dekat dengan Desa Kadu Ketug.





Danau Dangdang berwarna hijau, yang mungkin karena pengaruh tumbuhan air didalamnya. Sekelilingnya ditumbuhi pohon-pohon sagu, dan tanaman lain yang berada di lahan ladang milik warga Baduy Luar. Semua dibiarkan alami, dan terjaga kelestariannya. Untuk kami berdua yang memang suka alam, tentu tempat ini sangat menyenangkan. Dan karena perbatasan telah jauh ditinggalkan, disinilah baru aku mengeluarkan kembali kameraku. Menikmati setiap sudut danau yang buatku sangatlah menyejukkan. July dengan sabar duduk menanti kami dibawah rindang pepohonan di pinggiran danau. Beberapa anak Baduy Luar bermain juga disana. 











Tidak begitu lama kami singgah ditepin danau itu, karena khawatir sampai dibawah terlalu siang. Dan July pun sepertinya sudah sangat lelah. Kami bergegas menuju desa kadu Ketug, membeli beberapa kerajinan pesanan dari salah seorang sahabatku, dan segera menuju kebawah, mencari warung untuk istirahat makan siang dan bersih-bersih.  July membawa kami ke sebuah warung yang biasa disinggahinya dengan alasan tidak ramai. Tetapi sayang warung ini ternyata cukup mahal untuk pengunjung seperti kami. Tapi kami tetap makan dan membereskan barang-barang bawaan kami disana. Setelah itu jam 12.00 aku dan Nunik naik ke elf yang akan berangkat ke Rangkas . July langsung meninggalkan kami ke atas. Aku berpikir sepertinya dia sedikit lelah karena beberapa hari itu bolakbalik untuk antar jemput tamu. Elf berangkat sejam kemudian, dan kami tak lagi melihat July.  Aku merasa sebagian hatiku tertinggal disana, di Baduy Dalam, dan akan selalu merindukan mereka dengan segala kesederhanaan itu. Berharap semoga muncul kesadaran bagi para petualang untuk tidak jor-joran membuka open trip kesana, setidaknya membatasi peserta. Sepertinya tidak mungkin, tetapi aku berdoa, semoga mereka senantiasa dalam lindungan Tuhan, tetap bertahan dalam upaya menjaga alam dan hutan mereka yang merupakan “tiang bumi”.


2 komentar:

Unknown mengatakan...

Keren teh, Ajak aku dong kalau ke Baduy lagi hehee
Rindu tebal dengan kearifan lokalnya.

mata lensa mengatakan...

hehe ayoo ra....tp jgn weekend yak. ga mau menuh2in kampung mrka....:)
enakan hari biasa...lbh dkt dgn kehidupan mrka.