Berawal
dari sapa melalui pesan singkat di telephone genggam dari seorang sahabat cilik
yang tinggal di Cibeo, yang bertanya kapan mau berkunjung kerumahnya karena dia
takut musim durian sebentar lagi habis, dia tidak akan sempat menyuguhi durian
yang berasal dari ladangnya seperti yang dijanjikannya. July namanya, anak muda
yang berasal dari Cibeo yang adalah merupakan salah satu kampung yang berada di
Baduy Dalam. Kenapa dia bisa mengirim pesan singkat itu serta menelpon aku?
Bukankah Baduy Dalam sama sekali tidak mengenal modernisasi? Barangkali Adat
istiadat dan Budaya mereka tetap sama dan terjaga, namun bukan berarti mereka
tidak mengenal dunia luar. Sebagian besar dari mereka sangat fasih berbahasa
Indonesia, dan bisa baca tulis. Mengenai telephone genggam itu sendiri, tidak
pernah mereka miliki di dalam lingkungan Baduy Dalam. Mereka memilikinya untuk
berhubungan dengan dunia luar, dan meletakkannya di rumah kerabat mereka yang
berada di Baduy Luar. Dan menggunakannya pada saat-saat tertentu ketika mereka
turun dan keluar dari wilayah adat.
Aku
mengenal Baduy atau mereka sering menyebutnya Kanekes, untuk pertama kali saat
organisasi yang aku ikuti melakukan pengkaderan. Melakukan longmarch, sapu
bersih sampah yang ada disepanjang jalur Cijahe – Cikeusik – Cibeo –
Cikartawarna hingga Ciboleger. Lsm yang aku ikuti memiliki sejarah panjang
dalam kedekatan secara emosional dengan Masyarakat baduy. Perjalanan senyap
yang sangat membekas dalam ingatanku, tertanam bahwa kami tidak akan pernah
mengusik ketenangan mereka juga adat istiadat yang ada. Perjalanan senyap yang
tercatat di dalam hati, karena kecintaan yang mendalam terhadap kehidupan
mereka yang begitu sederhana dan bersahaja.
Kedekatan
dengan masyarakat Baduy pun terjalin erat dengan pertemuan dan silaturahmi baik
di kawasan Kanekes atau sebuah Hutan yang terletak tidak jauh dari Ciboleger,
salahsatu pintu masuk ke wilayah Baduy.
July adalah salahsatu anak muda yang sangat aku kenal, begitupun
keluarganya. Dan untuk memenuhi
undangannyalah aku mendadak berangkat kesana bersama seorang kawan perempuanku.
Memilih hari minggu, hari yang tidak biasa untuk melakukan perjalanan. Kami
memilih berangkat hari minggu, karena tidak ingin menambah jumlah pengunjung
yang begitu ramai di setiap akhir pekan memasuki wilayah mereka. Dan benar,
ketika elf yang kami tumpangi tiba di Ciboleger, begitu banyak motor dan mobil
terparkir, serta pengunjung yang baru turun dari Baduy Dalam atau yang datang
untuk sekedar mencari cinderamata di baduy Luar. July sudah sejak jam 9 pagi
menunggu kami disana.
Karena
tujuanku adalah ke rumah July, kami tidak begitu mempedulikan akan lewat mana
di bawanya. Dan dia membawa melalui jalur yang biasa, yaitu melewati gajeboh, salah
satu jalur menuju Cibeo. Jalur lainnya adalah melalui danau Dangdang dan
Jembatan Akar. Perjalanan dimulai dari perbatasan Ciboleger dan Baduy Luar yang
ditandai dengan sebuah tugu yang tepat berada di ujung jalan kampung Kadu Ketug
(Baduy Luar). Disini pengunjung yang ingin masuk ke wilayah Baduy Dalam harus
mengurus izin di rumah Jaro Daenah, orang yang menjabat sebagai Jaro Pamarentahan. Memasuki Kampung Kadu Ketug yang tertata
rapi, kita akan langsung menyaksikan bagaimana wanita-wanita Baduy menenun, dan
hampir disetiap rumah terdapat hasil kerajinan tangan yang bisa dibeli sebagai
oleh-oleh khas Baduy, seperti selendang/syal tenun, sarung tenun, gelang-gelang
dan tas koja dan lainnya.
Kami
terus berjalan melewati desa Kadu Ketug yang ramai oleh pengunjung, seperti
layaknya sebuah desa wisata. July ternyata telah lebih dahulu melaporkan kepada
Jaro Daenah tentang kedatangan kami, sehingga tak perlu lagi singgah di rumah
Beliau, walaupun sebenarnya aku ingin bersilaturahmi menemui beliau. Kami masih
sempat berpapasan dengan beberapa pengunjung yang baru turun. Setelah itu hanya
kami bertiga yang melintasi jalan menuju gajeboh. Sesekali berpapasan dengan
warga Baduy Luar. Saat melewati sebuah pintu diujung kampung sebelum dihadapkan
pada sebuah tanjakan yang panjang, langit mulai mendung. July mengajak kami
bergegas dan mempercepat langkah untuk melewati tanjakan tersebut. Dan benar ,
hujan pun turun ketika kami sudah hampir melewati tanjakan. Dan semakin deras
ketika mendekati sebuah kampung terakhir sebelum memasuki wilayah Baduy Dalam.
Disini kami berhenti sejenak menanti hujan reda. Aku begitu menikmati hujan dan
bau tanah yang selalu membuat rindu pada perjalanan-perjalanan seperti ini.
Ketika
hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Aku segera menyimpan kameraku dan
mempercepat langkah. Walaupun masih diizinkan untuk memotret , namun aku
memilih untuk menikmati semua yang terlewati dalam hati saja. Mencoba menyimpan
dan mengabadikannya dalam hati, sebagai sebuah perjalanan hati, mengambil
banyak pembelajaran dari tatanan hidup mereka. Bagaimana mereka bertahan dan
setia pada adat istiadat dan ajaran-ajaran leluhur. Mengutip sebuah tulisan yang
mengungkapkan perkataan dari Jaro Na’im seorang Jaro dari Cikartawarna “ Keun
wae batur berubah, urang mah moal berubah “ (biarkan saja orang berubah, kami
tak akan berubah), mensikapi perubahan-perubahan diluar melalui penerapan adat
dan hukum serta berpegang teguh pada keyakinan jika Baduy mulai terpengaruh
pada arus modernisasi maka itu pertanda bumi akan hancur. Keyakinan itu
didasari oleh kepercayaan bahwa baduy berada pada wilayah yang merupakan titik
yang disebut Pancer bumi (tiang bumi), wilayah yang tergolong berada di inti
bumi, kawasan yang harus dijaga. Karena berada di inti bumi, maka seluruh
nilai-nilai adat dan agama yang melandasi hidup sehari-hari harus berorientasi
pada upaya menjaga dan melestarikan bumi, menyelamatkan bumi dari kehancuran.
Hutan
, Bukit , sungai yang begitu terjaga menyambut langkah-langkah kami. Tak banyak
bicara. Kesenyapan mewarnai setiap langkah kami. July anak muda Cibeo itu
sebagaimana umumnya orang Baduy, tak banyak bicara, tapi dia akan menjawab dan
bercerita untuk setiap pertanyaan yang diberikan. Sesekali aku menyela
langkahnya dengan pertanyaan-pertanyaanku. Pertanyaan yang tak pernah aku
berikan sekaligus pada saat berkunjung sebelumnya. Salah satu pertanyaanku
adalah “ Jul, apa kamu pernah memiliki keinginan untuk hidup seperti orang
luar, punya ini itu dan sebagainya?”. Dan aku menyesal sudah mengganggunya
dengan pertanyaan itu. Tapi July tetap menjawab pertanyaan itu , “ Tidak,
karena kehidupan kami ya begini, yaa harus tetap hidup seperti ini”. Kemudian pertanyaan lain
“ ketika kamu ke luar, ke jakarta, apa pernah kamu mencoba naik kendaraan?”.
“tidak” jawabnya singkat. Kenapa, bukankah jauh dari wilayah Baduy, dan tidak
akan ada yang mengadukan jika pun mereka menaiki kendaraan ? . July hanya
menjawab sederhana saja “ harus jujur dan mentaati semua adat istiadat
dimanapun berada”. Tuhan, aku tiba-tiba tertusuk mendengar semua itu. Betapa
mereka yang hanya mempercayai adat dan hukum yang berlaku, begitu taat dan
patuh pada aturan-aturan yang melandasi hidup mereka. Kejujuran yang tak pernah
ternodai sedikitpun. Betapa banyak manusia diluar mereka yang mengaku ber-Tuhan
dan ber-Agama, namun tak pernah ada sedikitpun rasa takut ketika melakukan
perbuatan-perbuatan yang melanggar aturan-aturan dan melakukan
kecurangan-kecurangan untuk kepentingan hidupnya.
Aku
melangkahkan kakiku , sesekali mengusap keringat dan berhenti sejenak untuk melepas
penat di kakiku. Sesekali aku dan Nunik mencandai July dan tertawa melihat
mukanya yang memerah di bawah terik matahari. July buatku adalah seorang
saudara, seorang adik, sehingga aku merasa dekat dengannya juga keluarganya.
July biasanya melakukan perjalanan bersama 3 orang sahabat dan juga saudaranya
yaitu Jaku, Pulung dan Misja (anak dari Ayah Mursid). Tapi terkadang juga
dengan teman lainnya. Persaudaraan mereka sangat kental sebagaimana adat
istiadat mereka yang mengedepankan kebersamaan dan gotongroyong.
Tanpa
sadar kami sudah sampai di jembatan terakhir diperbatasan wilayah Baduy Luar
dan Baduy Dalam. Sekali lagi aku mengeluarkan kameraku untuk memotret Nunik
yang baru pertama kalinya menginjakkan kaki di Baduy. Setelah ini memasuki
wilayah Baduy dalam, tidak diperbolehkan menggunakan kamera atau apapun
barang-barang elektronik. Namun banyak pengunjung yang masih mencuri-curi
mengambil gambar di wilayah ini biasanya. Dan itu tanpa sepengetahuan mereka
yang telah menjadi petunjuk jalan yang adalah warga Baduy Dalam sendiri. Buatku
itu adalah kejahatan, sebuah kecurangan. Bagaimana kebaikan dan kejujuran
mereka telah dikhianati dan dilukai. Melewati tanjakan terakhir sebelum turunan
menuju kampung Cibeo kami disuguhi pemandangan indah setelah hujan, yaitu hutan
dan bebukitan yang berkabut, dan setitik cahaya matahari muncul dibalik awan
yang berkabut. Aku merekamnya dengan mata hati, dengan segenap rasa, aku begitu
mencintai tempat ini, dan akan selalu kembali kesini. Nunik pun menghentikan
langkah dan menikmati hal yang sama denganku.
Kami
memasuki kampung Cibeo yang didahului dengan sebuah jembatan yang seperti
sebuah gerbang pintu masuk, tepat jam 5 sore. Dan menemukan warga kampung Cibeo
yang sedang berada di luar rumah masing-masing, setelah pulang dari huma dan
ladang. Kami duduk di depan rumah July, dan menyapa serta menjawab sapa setiap
orang yang lewat dihadapan kami. Tamu-tamu pengunjung telah pulang, dan denyut
kehidupan warga kampung Cibeo kembali normal seperti biasa. Sekarang hampir setiap
minggu kampung ini dipenuhi oleh pengunjung. Cibeo adalah satu dari tiga
kampung di baduy dalam, dan satu-satunya yang terbuka untuk orang luar.
Sementara Cikeusik dan Cikartawarna agak tertutup dan lebih menjaga dan
membatasi menerima orang luar.
Kami
dipersilahkan masuk kerumah July oleh kakak iparnya yang sudah aku kenal.
Seorang bayi berada dalam gendongannya, sementara si kakak bernama Yati yang
sudah besar mondar-mandir dihadapan kami. Dia tidak lagi malu-malu ketika aku
bersalaman dengannya. Si kecil Sahira tampak mulai ngantuk dan kemudian
tertidur digendongan ibunya. Sayang, aku tidak bisa bertemu dengan jaku, Pulung
dan Misja, yang menurut July mereka semua sedang ke ladang masing-masing.
Ketika hendak shalat maghrib July pamit meninggalkan kami untuk pergi mandi. Setelah
aku dan Nunik shalat maghrib, July telah kembali dan terlihat bersih dengan
pakaian barunya yang juga berwarna putih bersih. Dan setelah itu dia
benar-benar menyuguhkan durian untuk kami, yang berasal dari kebon dan ladangnya
sendiri. Sungguh berbeda dengan durian yang dijual di jakarta, durian Baduy
terasa begitu nikmat, dan dagingnya empuk sekali. Nunik yang tidak suka durian
setelah aku paksa-paksa untuk mencicipi, akhirnya makan juga beberapa buah. Dan
setelah itu kami benar-benar merasa merepotkan, ketika july dan keluarganya
menyediakan makan malam untuk kami berdua. Kami pun makan bersama keluarga itu,
menikmati nasi hangat yang berasnya berasal dari padi ladang yang mereka tanam,
bersama lauk asin dan telor dadar, serta lalap pete. Sekali lagi Nunik yang
tidak suka pete mencoba juga akhirnya. Menikmati makan malam sambil bercerita
dengan keluarga itu, kami merasa seperti di rumah sendiri. Dan makan malam itu
ditutup dengan secangkir air nira yang dibawa oleh abang July yang tadi baru
pulang dari ladang. Penerangan yang ada di rumah ini hanyalah lampu minyak yang
digantungkan di dinding bambu itu. Mereka menyimpan beberapa batang lilin yang
di dapat dari pengunjung yang datang dan bermalam disitu.
Setelah
kembali menyantap beberapa potong buah durian lagi, aku dan Nunik turun ke
sungai diantar oleh kakak ipar July. Kehidupan malam di kampung Cibeo telah
senyap. Saat itu masih pukul 20.00. kami shalat isya, kemudian merebahkan tubuh
di atas tikar yang disediakan untuk kami.
Si kecil Sahira dan yati tidur di ruangan dapur bersama ibunya. Ibu July
menempati satu-satunya kamar yang ada dirumah itu. Sementara July pamit keluar,
dan ternyata dia tidur dirumah sebelah yang juga adalah rumah neneknya. Kami
menikmati kesunyian dan senyap malam di kampung Cibeo. Terasa damai dan tenang.
Subuh
aku dan Nunik terjaga dan terasa malas keluar dari sleepingbag kami, karena
terasa sangat dingin. Tapi akhirnya keluar dan turun ke sungai untuk mengambil
wudhu. Belum terlihat satupun mereka yang keluar dari rumah masing-masing. Dan
ketika terang menyambut pagi, July telah kembali kerumah. Sibuk membuka durian
dan membungkusnya untuk kami bawa, dibantu abangnya. Aku dan Nunik merasa tidak
enak, tetapi juga tidak bisa menolak. (dalam hati sih senang juga :D). Mereka
sungguh baik, dan kali ini aku menyesal tidak sempat membawakan mereka ikan
asin sebagai oleh-oleh untuk mereka seperti biasanya.
Ketika
bersiap-siap untuk kembali meneruskan perjalanan, dan sedang memakai sepatu
didepan rumah July, banyak yang menyapa kami ramah. Tiba-tiba muncul dihadapanku wajah seorang yang juga sangat
tak asing buat aku ; Syafri. Dari kemaren pun aku mencari-carinya, ternyata
pagi itu dia baru pulang dari ladang. Kami bersalaman dan seperti biasa saling
bertanya kabar. Dan dia tetap masih hapal dengan namaku, walau begitu banyak
tamu atau pengunjung yang telah datang kesana. Dan itulah mereka orang baduy
pada umumnya, yang sangat kuat ingatannya dan menghargai setiap orang yang
datang ke kampung mereka. Mereka mengingat semua tamu yang pernah berkunjung
kerumahnya, ataupun yang pernah menyapa dan berinteraksi dengan mereka. Kami
berpamitan dengan kakak ipar July, saat warga kampung Cibeo pun mulai berangkat
meninggalkan rumah mereka menuju ladang mereka masing-masing. Syafri menyertai
kami sampai di dekat rumahnya, dan berpamitan dengan kami.
Pulang
kami mengambil jalur yang berbeda dengan kemaren. Aku meminta July untuk
melewati jalur danau, karena aku ingin melihat danau itu lagi. Dan jalur dari
Cibeo melalui jalur danau ini menuju Ciboleger sangat luar biasa. Keluar dari
kampung melewati sebuah jembatan, kami langsung menempuh tanjakan yang seakan
tiada henti. Sesekali berpapasan lagi dengan warga Cibeo yang melalui jalur itu
untuk menuju ladang mereka atau sebaliknya. Dan kegiatan sehari-hari itu adalah
juga sekolah buat anak-anak Baduy. Sejak pukul 6 pagi anak-anak baduy
bersekolah di ladang dan hutan belantara. Mereka membawa golok, berjalan kaki
puluhan kilometer, membuka huma, memasak di ladang, mempelajari perilaku alam,
gejala dan sifat alam, mempelajari berbagai tanaman dan mengenal musim,
sehingga mereka mampu mengenali alam dan menjaganya. Mempelajari setiap
ajaran-ajaran dari orang tua mereka yang berasal dari para leluhur, sehingga
semakin mereka memahami sejak kecil, bahwa mereka harus mempertahankan
nila-nilai kehidupan yang mereka miliki untuk terjaganya alam dari kehancuran.
Itulah sekolah ; bagi mereka. Dibalik kepolosan mereka, mereka bukanlah
orang-orang bodoh. Dengan caranya sendiri mereka mampu mengetahui banyak hal
dan mempelajari banyak hal, sehingga mereka cukup pintar menghadapi kehidupan.
July
mengajak singgah disebuah ladang, dimana kakak perempuannya menetap disebuah
rumah diladang itu. Aku dan Nunik
beristirahat sejenak disana, melepas penat yang mulai menjalari kaki. Dan
kembali kami disuguhi disini, mencicipi buah langsat dari kebun milik mereka.
Kemudian kembali melanjutkan perjalanan. Jalur ini relatif lebih berat dari
jalur kemaren, dengan turunan dan tanjakan yang sangat panjang. Dan akhirnya kami sampai juga di danau
Dangdang, yang berarti sudah dekat dengan Desa Kadu Ketug.
Danau
Dangdang berwarna hijau, yang mungkin karena pengaruh tumbuhan air didalamnya.
Sekelilingnya ditumbuhi pohon-pohon sagu, dan tanaman lain yang berada di lahan
ladang milik warga Baduy Luar. Semua dibiarkan alami, dan terjaga
kelestariannya. Untuk kami berdua yang memang suka alam, tentu tempat ini
sangat menyenangkan. Dan karena perbatasan telah jauh ditinggalkan, disinilah
baru aku mengeluarkan kembali kameraku. Menikmati setiap sudut danau yang
buatku sangatlah menyejukkan. July dengan sabar duduk menanti kami dibawah
rindang pepohonan di pinggiran danau. Beberapa anak Baduy Luar bermain juga
disana.
Tidak
begitu lama kami singgah ditepin danau itu, karena khawatir sampai dibawah
terlalu siang. Dan July pun sepertinya sudah sangat lelah. Kami bergegas menuju
desa kadu Ketug, membeli beberapa kerajinan pesanan dari salah seorang
sahabatku, dan segera menuju kebawah, mencari warung untuk istirahat makan
siang dan bersih-bersih. July membawa
kami ke sebuah warung yang biasa disinggahinya dengan alasan tidak ramai.
Tetapi sayang warung ini ternyata cukup mahal untuk pengunjung seperti kami.
Tapi kami tetap makan dan membereskan barang-barang bawaan kami disana. Setelah
itu jam 12.00 aku dan Nunik naik ke elf yang akan berangkat ke Rangkas . July
langsung meninggalkan kami ke atas. Aku berpikir sepertinya dia sedikit lelah
karena beberapa hari itu bolakbalik untuk antar jemput tamu. Elf berangkat
sejam kemudian, dan kami tak lagi melihat July.
Aku merasa sebagian hatiku tertinggal disana, di Baduy Dalam, dan akan
selalu merindukan mereka dengan segala kesederhanaan itu. Berharap semoga
muncul kesadaran bagi para petualang untuk tidak jor-joran membuka open trip
kesana, setidaknya membatasi peserta. Sepertinya tidak mungkin, tetapi aku
berdoa, semoga mereka senantiasa dalam lindungan Tuhan, tetap bertahan dalam
upaya menjaga alam dan hutan mereka yang merupakan “tiang bumi”.
2 komentar:
Keren teh, Ajak aku dong kalau ke Baduy lagi hehee
Rindu tebal dengan kearifan lokalnya.
hehe ayoo ra....tp jgn weekend yak. ga mau menuh2in kampung mrka....:)
enakan hari biasa...lbh dkt dgn kehidupan mrka.
Posting Komentar