Senin, 18 Juli 2016

ARGOPURO, MENGGAPAI PUNCAK MISTERI DI DATARAN TINGGI ‘YANG’








Belasan kali sudah gagal untuk mendaki Gunung Argopuro di Dataran tinggi Yang, Jawa Timur. Puncak terakhir Pulau jawa yang ingin aku singgahi dan tuntaskan sejak 12 tahun yang lalu. Entah kenapa selalu saja keberangkatan dan rencana ke sana menghadapi kendala dan banyak rintangan, bahkan ketika sudah berada di Bondowoso. Hingga di bulan Mei 2016 yang lalu, berkunjung ke Surabaya mengunjungi saudara-saudaraku Garuda Nusantara timur,  salah seorang diantaranya bersedia mengantarkan dan menemaniku.

Waktu dan segalanya amat sangat diperhitungkan oleh mas Kinthok seniorku di Garuda Nusantara yang akan mengantarkanku,  sebagaimana kebiasaan dalam sebuah medan operasi. Aku yang tadinya hanya ingin menyinggahi Taman Hidup akhirnya mengikuti rencana perjalanan yang dibuatnya tanpa banyak bicara. Berangkat dari ‘gubuk’ , rumah mas Kenthank kami diantar oleh mas Kenthank, om Anam dan Vivi salah seorang sahabat Srikandi Nusantara Jatim ke terminal Bungur pada pukul 00.00 wib. Dengan perkiraan bis berangkat dari Bungur jam 02.00, sampai di Besuki subuh, dan langsung melanjutkan ke baderan, sehingga bisa memulai pendakian pada pagi hari. 







Sepanjang perjalanan Surabaya – Situbondo, aku tak banyak bicara dengan seniorku. Aku lebih banyak membayangkan seperti apa Gunung Argopuro yang penuh misteri itu. Entah kenapa aku tidak menargetkan Puncak Rengganis sebagai tujuan. Hanya mengikuti rencana perjalanan yang dibuat . Banyak cerita tentang Argopuro yang melintas dalam pikiranku, dan tentunya tentang kisah Dewi Rengganis dan Cikasur yang penuh misteri.

Gunung Argopuro yang berada di dalam wilayah Dataran Tinggi Yang adalah tempat situs purbakala tertinggi di Jawa. Kisah Dewi Rengganis sangat melegenda dengan kawasan puncak yang dipenuhi situs seperti peninggalan bangunan kerajaan jaman dahulu. Konon Dewi Rengganis adalah putri dari Raja Brawijaya yang keberadaannya tidak diakui, namun sangat disayang dan di khawatirkan akan menjadi penguasa atau pewaris kekuasaan. Untuk itu dia diasingkan ke Gunung Argopuro bersama seorang Patih dan pengikut setianya. Dibangunkanlah sebuah kerajaan untuknya di Argopuro, dan mereka mendiami tempat itu selamanya.  Kisah lain adalah Dewi Rengganis adalah putri seorang raja yang menjadi pertapa di puncak Argopuro, dan sebagai pertapa juga Dewi Rengganis memiliki ilmu tingkat tinggi. Tidak ada yang tahu dan bisa membuktikan kebenaran kisah tersebut, namun situs-situ kerajaan tersebut benar-benar ada dan berupa bangunan kompleks kerajaan yaitu kolam renang dan taman sari, situs puncak rengganis, 2 bangunan candi dan tiga bangunan pura. Itu yang aku pernah baca. Entah aku akan menemukannya atau tidak dalam perjalanan ini.

Cerita lainnya adalah tentang Lembah Cikasur yang merupakan padang savana terluas di Argopuro. Disini dahulu dibangun sebuah landasan pesawat terbang pada jaman belanda. Konon katanya pun ada bukti berupa sebuah genset tua yang berada disalahsatu sudut landasan tersembunyi dibalik semak belukar. Dengan tulisan tahun 1912 di badannya membuktikan tahun pembuatannya pada masa penjajahan Belanda. Landasan itu berupa lapangan terbuka yang dipenuhi ilalang dan dinamakan Lembah cikasur ladang pembantaian (The Killing Field). Landasan ini pada awalnya dikerjakan oleh beberapa peerja yang dibayar, yang kemudian dipaksa mengajak penduduk lainnya dalam pembangunannya. Setelah pembangunan selesai, para pekerja tidak dibayar dan tidak boleh meninggalkan tempat tersebut. Kemudian mereka dipaksa membuat galian panjang untuk saluran air. Saat galian selesai beberapa truk terbuka beserta serdadu Belanda bersenjata lengkap mendekati dan menberondongi peluru ke arah pekerja. Galian itu ternyata sengaja dibuat untuk megubur mereka gar lokasi landasan tersebut tidak bocor dan diketahui oleh para pejuang. Landasan ini sempat juga dikuasai oleh tentara jepang hingga akhirnya dikuasai oleh Tni sebelum kemerdekaan. Kemudian ditinggalkan dan dilupakan begitu saja karena tempatnya yang sangat jauh.




Bis yang kami tumpangi sampai di Besuki sekitar pukul 05.20. Turun di perempatan Pos Polisi Besuki, kami langsung ke Mushola dibelakang Pos Polisi. Menurut mas Kinthok ada angkutan yang ke baderan, tapi hanya satu kali pagi dan sore. Setelah agak terang, kami menuju ke perempatan jalan untuk menunggu angkutan tersebut. Beberapa ojek menawarkan jasanya , dan aku berusaha memperkirakan dan membandingkan. Dengan perkiraan akan lebih cepat sampai dan lebih pagi juga memulai pendakian, kami akhirnya menggunakan ojek yang ditawarkan dengan harga yang tidak terlalu mahal, Rp.35.000 untuk jarak tempuh yang cukup jauh ke Baderan. Aku menikmati udara segar pegunungan selama perjalanan, sekaligus orientasi medan. Berusaha ,mencari mana puncak Argopuro tersebut, tetapi aku tidak menemukannya selain dataran tinggi dengan bebukitan .

Tiba di pos jaga Gunung Argopuro kami langsung melapor ke kantornya. Dan aku terkaget-kaget dengan harga tiket masuk gunung Argopuro. Perorang dengan standar perjalanan dihitung 4 malam dikenakan Rp. 90.000 dan Rp.20.000 pertim untuk kebersihan.  Setelah mengurus simaksi, kami meninggalkan barang-barang di pos, dan turun ke warung untuk sarapan. Masih pagi, sehingga tidak perlu terburu-buru. Target yang ditetapkan oleh mas kinthok hari ini adalah Pos mata air 1. Sebelum kami, ada 3 tim yang sudah jalan dari malam dan pagi sekali. Hal ini agak melegakan, setidaknya masih ada pendaki lain di atas.





Hal yang membuat perjalanan ke argopuro menyebalkan adalah adanya jalur motor trail dan ojek sampai ke cikasur . tapi kami juga memanfaatkan itu untuk mencapai perbatasan sebelum menuju pos mata air 1. Dengan harga Rp.35.000 lumayan jauh dan berat jalur yang ditempuh. Membayangkan jalan kaki pun rasanya enggan menempuh jalur setapak berbatu itu. Dari perbatasan kami memulai pendakian sekitar pukul 09.45 menuju pos Mata air 1. Menurut mas Kinthok jarak yang ditempuh cukup jauh. Tapi aku katakan kalo bisa kita mengejar ke pos Mata air 2 saja, agar perjalanan besok tidak terlalu jauh. 





Jalur yang ditempuh sangat menyebalkan, dengan jalan setapak yang dibuat dalam ditengahnya untuk jalur motor, sehingga nyaris kita tidak bisa menempuh jalan biasa. Terpaksa melangkah satu-satu dijalur motor tersebut. Aku pelan-pelan melangkahkan kaki, sambil mengatur nafas, dan menemukan irama yang pas untuk melakukan latihan endurance-ku. Di perjalanan kami bertemu dengan tim dari Bandung, dan melanjutkan perjalanan bersama. Sayang mereka akhirnya tertinggal jauh ketika kami mencapai pos Mata air 1. Sejenak istirahat dan masak mie untuk penghangat dan pengisi perut yang tidak sempat untuk makan siang. Setelah cukup istirahat, kami meneruskan perjalanan. Aku merasakan pendakian ini terasa sangat panjang. Tapi ternyata sekitar pukul 15.30 kami sudah sampai di pos Mata air 2.  Disini bertemu dengan 4 orang pendaki dari Surabaya yang akan melanjutkan perjalanan ke cikasur. Walau masih cukup siang namun mas Kinthok tetap memutuskan untuk camp disana. Karena untuk mencapai tempat camp berikutnya sangat jauh dan bisa-bisa malam baru sampai. Tim Bandungpun camp bersama kami di Mata air 2.  Memasak makan malam dan jam 21.00 pun kami selesai makan dan istirahat. Entah jam berapa aku terjaga oleh suara bising motor trail yang lewat dijalur yang berada tepat di atas tenda kami. Dalam hati aku mengumpat, ini gunung atau area trek-trekan ya. Rasanya tidak rela mendengar suara motor di atas ketinggian seperti ini. Dan ternyata mas Kinthok yang sebelumnya baru turun dari Semeru, tertidur pulas, tidak terganggu sama sekali oleh suara bising tersebut. 





Pukul 05.00 aku sudah terjaga dan membuat susu coklat. Setengah jam kemudian keluar menunggu matahari terbit. Sayang sekali sekeliling pos mata air 2 tertutup oleh cemara-cemara tinggi sehingga agak sulit mencari sudut yang bagus. Dan aku harus puas dengan pemandangan matahari terbit dari balik pepohonan cemara.






Tepat pukul 08.00 kami sudah selesai berkemas dan packing. Berpamitan dengan tim Bandung yang berencana hanya akan mencapai Cikasur hari ini dan camp disana. Dari Mata air 2 jalur mulai menanjak dan masih tetap sama menapaki satu-satu jalur motor yang benar-benar mempersulit langkah. Aku tetap dengan irama endurance-ku, sesekali benar-benar berhenti untuk memberi kesempatan pada mas Kinthok untuk beristirahat. Memasuki savana, aku merasa seperti masuk ke dunia lain. Sebatang pohon besar tumbuh ditengah-tengah padang ilalang menciptakan sebuah lukisan Tuhan yang Maha Sempurna. Sesaat saja disitu, kami meneruskan langkah menuju Cikasur. Dan masih sangat panjang perjalanan itu. Benar kata teman-teman yang sudah pernah menginjakkan kaki ke Argopuro, belajar sabar, mendakilah ke Argopuro. Dan itu benar-benar aku rasakan. Ingin menikmati perjalanan dengan musik ditelinga, tapi aku lebih memilih melangkah dalam diam. Sesekali bertanya pada mas Kinthok berapa lama lagi dan seperti biasanya hanya dijawab sebentar lagi juga sampai. Aku menikmati saja setiap jalur dan medan yang kami lalui, dan akhirnya sekitar pukul 11.10 kami sampai di sungai yang berada dilembah cikasur. Disini kembali bertemu tim dari surabaya yang ternyata kemalaman dan tidak bisa mencapai cikasur semalam. 














Setelah mengambil dan mengisi air langsung di sungai cikasur yang sangat bening dan jernih, kami menuju pos cikasur di atasnya. Selada air tumbuh subur disisi-sisi aliran sungai. Aku berharap sungai ini akan tetap terjaga selamanya oleh para pendaki ataupun penduduk yang datang kesana. Dan aku takjub begitu mencapai pos Cikasur yang ,hanya tinggal pondasi dan atap. Hamparan padang savana luas ada di depan mata, dengan pepohonan pinus dikejauhan dan langit biru serta awan-awan putih mewarnai lukisan Yang Maha. Aku melangkah menuju sebuah pohon besar ditengah savana, mengambil beberapa gambar. Entah kenapa tidak berani melangkah lebih jauh lagi, aku kembali ke pos, kemudian mengeluarkan trangia untuk memasak. Siang ini kami makan siang dengan nasi dan mie serta abon, menu praktis dan tidak perlu banyak waktu untuk mengolahnya. Sementara itu teman-teman dari surabaya sudah di pos, dan berencana akan melakukan perjalanan bersama menuju cisentor.








Sekitar pukul 14.00 ketika sinar matahari sudah mulai cukup redup kami mulai bergerak meninggalkan Cikasur. Diawali dengan jalur yang menanjak, cukup panjang dan kembali memasuki padang savana. Aku sebetulnya cukup sulit buat berorientasi, mengira-ngira dimana titik awal pendakian, dimana puncak argopuro yang sesungguhnya. Jalur yang ditempuh cukup jauh dan berputar-putar. Masuk ke hutan cemara kemudian keluar lagi ke padang savana berikutnya, seperti tiada ujungnya. Teman-teman surabaya mulai tertinggal dibelakang, dan ketika melewati sebuah padang savana lagi, mas kinthok mengatakan bahwa sebaiknya melewati jalur itu jangan sampai kemalaman. Kami bergegas melanjutkan perjalanan ke Cisentor. Menempuh jalur yang mulai menurun, aku benar-benar jatuh cinta dengan belantara Argopuro. Menyusuri lerengan dimana didepan adalah lembahan dan jurang yang penuh hamparan batu-batu dan tumbuhan yang indah, sementara sebelah kanan jalur tebing-tebing dan bebatuan menghiasi dinding-dindingnya. Seperti memasuki sebuah dunia lain, dan entah kenapa aku merasa berada dalam hutan dan kerajaan milik kaum Elf dalam film The Lord of The Ring. 





Semakin menurun, dan sebuah sungai terhampar dibawah. Inilah Cisentor, dimana kami akan bermalam hari ini sebelum melanjutkan lagi perjalanan. Sepertinya satu tim pendaki lagi tidak bermalam disitu, kemungkinan di Rawa embik atau Savana Lonceng. Sekitar jam 16.30 kami sudah mendirikan camp di Cisentor. Tidak berapa lama teman-teman surabaya sudah menyusul tiba di sana. Setelah makan malam, perjalanan panjang seharian benar-benar membuat tubuh letih dan semua berisitirahat total malam itu.

Keesokannya pagi-pagi setelah sarapan, kembali packing dan berkemas, dan meninggalkan pos Cisentor tepat pukul 08.00. medan yang ditempuh dari Cisentor menuju Rawa embik adalah masih berupa padang savana dan agak mendaki, kemudian memutar dan menyusuri lerengan dengan jalan setapak yang sangat sempit dan rapat oleh tumbuhan belukar dan perdu. Lama sekali rasanya menyusuri lerengan tersebut sampai akhirnya jalan mulai memutar dan menurun. Rawa Embik adalah salah satu alternatif tempat camp, karena disana terdapat sumber mata air berupa sungai kecil yang mengalir. Sambil menunggu yang lain kami kembali mengisi tempat air minum yang kosong dengan air yang langsung diambil dari sungai.  Disini udara dingin mulai terasa menusuk tulang. Aku mengeluarkan jaket polar yang sengaja aku letakkan dibagian atas kerir. Dalam setiap perjalanan jangan pernah ragu untuk mengeluarkan jaket ataupun flanel untuk mengurangi rasa dingin karena berhenti bergerak, untuk menghindari hypotermia, itu yang pernah diajarkan oleh salah seorang sahabatku yang sudah tiada. Dan cukup lama kami menunggu teman-teman Surabaya yang ternyata sempat salah jalur, hingga akhirnya mereka muncul saat kabut mulai turun di sekitar Rawa Embik.







Kami memutuskan untuk berjalan dengan jarak yang dekat karena kabut turun bersama gerimis. Aku memilih jalan paling belakang karena untuk  mengurangi kecepatan langkahku agar tetap berada dalam tim. Dan aku ternyata berjalan dalam lamunan dan imajinasi yang luar biasa, sehingga hampir tak mengenali medan disekelilingku, hanya mengikuti jalur yang dilalui oleh mereka didepanku. Disini sangat terasa kehadiran sesuatu yang mistis, yang mengajak naluriku untuk melangkah bersama pasukan yang entah apa. Atau mungkin daya khayalku terlalu tinggi. Sesekali tersentak karena pak de (salahsatu teman dari surabaya) dan mas Kinthok yang memanggil namaku jauh didepan. 






Kabut semakin pekat dan gerimis yang turun hanya membuat kami terhenti untuk menarik nafas sekejap saja. Dan kembali agak terang ketika memasuki Savana Lonceng. Karena mas Kinthok memutuskan untuk tidak ke Rengganis, teman-teman dari surabaya pun mengikuti kami menuju Puncak Argopuro. Aku tidak terlalu peduli tentang Puncak rengganis, karena tujuan langkahku hanya menuju puncak Argopuro dan turun menuju Taman Hidup. Mulai mendaki jalur yang menuju puncak Argo, dengan hamparan batu bertebaran dimana-mana. Sesekali aku takjub memandang ke arah bawah dan savana lonceng yang kami tinggalkan. Seperti memasuki sebuah negeri dongeng yang tidak pernah aku temui dan rasakan di pendakianku lainnya. Sampai di puncak Argo pada pukul 11.45, dan aku bersyukur karena saat itu telah melunasi catatan perjalananku di pulau jawa, puncak Argopuro adalah puncak terakhirku di pulau Jawa.





Tak lama kami menyinggahi puncak Argo, kemudian melanjutkan perjalanan, menyeberang ke puncak Hyang yang dipisahkan oleh dataran yang membentuk sadel antara kedua puncak itu. Dan tetap aku merasa berada di dunia yang seperti negeri dongeng. Aku bergegas mengikuti langkah mas Kinthok yang mulai menuruni jalan setapak di antara bebatuan , yang agak sedikit curam. Di pertigaan menuju puncak Arca kami menunggu teman-teman surabaya yang masih tertinggal dibelakang. Aku berdiri takjub menatap hamparan Taman Mati yang berada diantara puncak Arca dan puncak Argo serta puncak Arca yang terlihat penuh misteri. Mataku juga sempat melihat kera berwarna keemasan yang meloncat melintasi pepohonan di jalur menuju puncak Arga. Sayang waktu kami terbatas untuk menyinggahi puncak Arca. Setelah salah seorang teman surabaya muncul, kami melanjutkan perjalanan turun, karena yakin mereka tidak akan tersesat karena menuju Taman Hidup hanya ada satu jalur.





Sekitar pukul 15.00 ketika sampai di persimpangan Cemoro Limo, dimana setelah lama berhenti, akhirnya kami memutuskan melanjutkan perjalanan tanpa menunggu temen-teman Surabaya, dengan pertimbangan jarak yang masih sangat jauh dan menghindari perjalanan di malam hari. Dari Cemoro Limo menuju Taman Hidup masih melalui lerengan , yang beberapa diantaranya merupakan jalur sungai atau air terjun kecil yang sudah mati. Disini gerimis mulai turun, dan mengharuskan kami untuk menggunakan Raincoat . langkah benar-benar bergegas menuju Taman hidup, dan pada akhirnya tetap saja maghrib menjelang dan kami baru saja memasuki hutan rapat saat gelap datang.

Sesampainya di Taman Hidup telah ada teman-teman pendaki yang berasal dari berbagai kota yang bergabung jadi satu tim. Kami bergegas mendirikan tenda disamping tenda milik mereka, karena khawatir turun hujan lebat. Dan benar saja, setelah tenda berdiri dan baru saja mulai masak untuk makan malam, hujan turun dengan derasnya. Beberapa saat kemudian teman-teman surabaya sampai juga kesana dan dalam keadaan basah kuyup terpaksa mendirikan tenda dibawah derasnya hujan.

Karena letak areal camp yang hampir sama rata dengan tinggi air di Danau Taman Hidup, maka areal camp pun banjir dengan ketinggian air sekitar 7-10 cm. Untungnya om anam membekali kami dengan tenda barunya, sehingga air tidak masuk ke dalam tenda, dan sebaliknya malah berasa tidur di atas kasur air. Hujan yang tidak berhenti dan letih yang sangat membuat semua terlelap malam itu.

Pagi sekali aku terjaga, hujan telah berhenti, dan areal camp pun sudah kering. Aku cepat-cepat keluar, niat hati ingin melihat matahari, tetapi ternyata ketika melangkahkan kaki ke arah danau Taman Hidup, sekeliling danau adalah bukit-bukit dan belantara rapat, dan posisi matahari terbit ada dibalik bukit dihadapanku. Sebelum yang lain mendatangi danau, aku mengambil beberapa gambar setiap sudut danau Taman hidup. Dan kemudian kembali ke camp, dimana teman-teman lain mulai menjemur pakaian dan perlengkapan mereka yang basah. Keakraban di antara sesama pendaki begitu terasa dengan kebersamaan, cerita dan canda tawa, hal yang sudah nyaris hilang saat ini dengan menjamurnya pendaki di dunia petualangan.











Setelah bersih-bersih dan istirahat, kami semua turun dari baderan menuju terminal dengan menyewa mobil yang dimiliki oleh Petugas Polhut Argopuro. Satu cerita tercatat lagi bersama kawan-kawan baru yang terasa sangat dekat. Setiap perjalanan akan menjadi cerita yang baik dan indah jika kita menginginkannya. Setiap teman perjalanan adalah bagian dari diri kita dan perjalanan itu sendiri. Maka bertegursapalah dan bersikap peduli terhadap sesama pendaki, maka perjalananmu tidak akan sia-sia. Salam Lestari.





Tidak ada komentar: