Panjalu adalah salah satu kota
kecamatan di wilayah utara Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Untuk mencapai wilayah
ini dari arah jakarta menuju Tasik, belok kiri di Pamoyanan. Atau dari Bandung
ada angkutan elf yang langsung ke sana dengan tulisan Bp. Kota ini terletak
sekitar 35 km sebelah utara Kota kabupaten Ciamis atau 15 km sebelah barat kota
Kawali, berbatasan di sebelah Utara dengan wilayah Talaga Kabupaten Majalengka
dan Kabupaten Kuningan. Ruang lingkup
wilayah ini dulu dikenal sebagai Pusat Kerajaan panjalu.
Perjalanan ke Panjalu bagi
saya sebenarnya adalah perjalanan ke kampung halaman yang tidak pernah saya
kenali, selain sebuah rumah di tepi danau Situ Lengkong, rumah keluarga angkat
yang saya cintai. Namun kali ini saya ingin lebih banyak mengenali wilayah ini,
mengenali setiap sudut dan kisahnya.
Wilayah Panjalu adalah
merupakan perbukitan yang subur, terletak di lereng utara gunung Syawal dengan
ketinggian sekitar 700m di atas permukaan laut. Adem, sejuk itulah yang saya
rasakan ketika memasuki wilayah ini. Di sebelah barat laut dan utara daerah ini
juga berupa perbukitan yang subur, lereng gunung Bitung, gunung Cendana, dan
gunung Cakrabuana, dimana sungai citanduy berhulu. Sehingga secara menyeluruh
wilayah panjalu adalah merupakan dataran perbukitan yang diapit oleh
gunung-gunung. Diwarnai dengan sawah-sawah menghijau, membuat betah berkeliling
disini.
Sore saya menyempatkan diri
turun ke pinggiran danau Situ Lengkong. Rumah keluarga saya tepat berada di
seberang pintu gerbang masuk Nusa Gede. Di sebelah kiri sekitar 200m adalah
pintu masuk wisata Situ Lengkong dimana banyak perahu-perahu penumpang wisata
berjejer rapi. Perahu- perahu dengan kapasitas 10-20 orang duduk ini bisa
dicarter dengan harga 100-200 ribu. Penumpang akan diantarkan berkeliling situ
dan singgah di Nusa Gede. Pada umumnya yang berkunjung kesini adalah para
penziarah.
Sore itu saya menikmati
matahari yang bersiap-siap bersembunyi di balik bebukitan. Warna keemasan
menyentuh permukaan situ. Berjalan ke sebelah kanan, saya menemui karamba-
karamba milik warga sekitar. Sesekali terlihat kelelawar atau kalong terbang
dari pepohonan di Nusa gede. Dan hingga malam masih terdengar suara mesin
perahu, pertanda masih ada para penziarah yang mendatangi tempat tersebut.
Temuan-temuan data
kepurbakalaan, nilai-nilai sosio Kultural serta jejak kesejahteraan lainnya
yang masih terlestarikan, menunjukkan bagaimana tentang masa lalu kota ini.
Sebagai kerajaan kuno yang dikenal sebagai Kerajaan soko Galuh Panjalu. Ibukota
kerajaan itu dibangun pada areal situ (danau) seluas 70 hektar, yang sekarang
terkenal sebagai situ Lengkong ini. Terdapat tiga buah nusa (pulau Kecil) yang
masing-masing digunakan sebagai tempat bangunan Istana kerajaan, Kepatihan dan
staf kerajaan dan sebagai taman rekreasi.
Pendiri ibu kota Kerajaan ini adalah tokoh yang memiliki kharisma sangat
tinggi , leluhur Panjalu bernama Sanghyang Borosngora , raja Panjalu islam
pertama.
Pagi hari saya menikmati
suasana pagi dengan laptop saya di teras depan rumah, menghadap situ lengkong
yang bermandikan cahaya matahari. Pagi ini saya belum akan mencoba menyeberang
ke nusa gede, karena akan diajak ke Musium Bumi Alit yang berada di dekat pasar
dan alun-alun. Tempat ini sungguh sangat mendukung untuk saya berlama-lama
mencari inspirasi untuk menulis, yang begitu sering hinggap di otak tetapi
sangat sulit menuangkannya di tengah kepenatan hidup di kota.
Bumi Alit
Musium Bumi Alit adalah tempat
disimpannya benda-benda bersejarah, seperti Menhir, batu Pensucian, Batu
Penobatan, Naskah-naskah kuno dan perkakas peninggalan milik raja-raja dan
Bupati Panjalu masa lalu. Dan yang terutama adalah perkakas yang disebut
sebagai benda Pusaka Panjalu yang berupa Pedang, Cis dan genta (lonceng kecil)
peninggalan milik Prabu Sanghyang Borosngora. Benda ini pada setiap bulan
Maulud ( hari senen/kamis setiap akhir bulan) digelar dalam suatu upacara perawatan yang di sebut
Nyangku. Pagelaran Upacara Sakral Nyamgku ini dilakukan masyarakat keluarga besar
Wargi Panjalu, baik yang ada di lingkungan setempat maupun penziarah yang
datang dari berbagai tempat.
Musium ini terletak 300 m dari
situ lengkong, diujung alun-alun kota. Melewati alun-alun yang merupakan pusat
kota Panjalu, suasana religi dan sejarah masa lalu sangat kental terasa. Ada
warna mistis yg sedikit menyambut. Mungkin ini hanya perasaan saya saja, atau
memang begitu adanya. Memasuki Museum Bumi alit, keraguan membayangi langkah
saya, apakah tidak menggangu keheningan dan kesakralan bangunan tersebut.
Ternyata diluar bayangan saya, di dalam justru sebaliknya, saat itu sedang
banyak penziarah yang tengah berkunjung. Alhasil saya tidak bisa masuk untuk
melihat ke dalam. Hanya bisa memutar dari belakang dan melihat isi ruangan dari
belakang. Penziarah saat itu tengah menerima penjelasan tentang sejarah dan
kisah-kisah perjuangan raja panjalu.
Bagian belakang bangunan itu tengah dalam perbaikan. Tak banyak yang
bisa saya lihat dan temukan, kemudian saya meninggalkan museum itu.
Nusa Gede
Gerbang masuk wisata situ
Panjalu sedikit terasa sepi oleh pengunjung yang biasanya sangat ramai.
Barangkali karena matahari tengah teriknya. Aku ditemani seorang saudaraku
mencari pemilik sepeda air bebek yang terikat diantara perahu-perahu mesin
disana. Aku memutuskan untuk naik sepeda air karena aku bermaksud untuk mengambil beberapa
gambar diseputaran situ, yang tidak mungkin aku lakukan jika naik perahu mesin
bersama pengunjung lainnya. Tentu saja dengan resiko harus mengayuh sendiri
bebek-bebekan tersebut.
Memutari Situ dari sisi kiri,
sepeda air yang aku kayuh mulai terasa berat. Aku menyaksikan keliling Situ
yang masih dipenuhi belantara rapat. Sesekali terlihat kelelawar terbang dari
pohon-pohon besar disana. Kabarnya beberapa waktu yang lalu kelelawar ini
sempat tidak ada terlihat, atau menghilang? Entahlah. Karena hewan ini sangat
diburu untuk diambil sebagai obat. Namun ternyata saat ini jumlah nya masih
sangat banyak, dengan ukuran yang sangat besar.
Agat merapat ke tepian, kami melewati gugusan teratai yang tumbuh subur
dan terlihat indah di atas permukaan air Situ yang sangat hijau kecoklatan. Aku
mengarahkan perahu sedikit menjauhi tepian, karena khawatir tersangkut pada
akar-akar tanaman air yang banyak ditepian.
Dan terlihat pula tanda-tanda batas aman yang terbuat dari bambu yang
ditancapkan ke dasar Situ. Setelah melewati lebih dari separuh Nusa Gede, aku
sedikit panik karena bebek-bebekan sukar bergerak karena melawan arah angin,
dan entah kenapa aku merasakan sedikit kekhawatiran dengan air situ yang
seperti menyimpan banyak misteri di dalamnya. Aku memaksa saudaraku untuk
bergegas menggayuh lebih cepat lagi, menuju gerbang Nusa gede. Kemudian menambatkan
sepeda air di dermaga kecil disana.
Memasuki gerbang Nusa gede, ada sedikit warna mistik terasa, namun tangga yang terhampar dihadapan yang menembus belantara terasa sejuk menyambut langkah. Dan ternyata kawasan Nusa Gede dilindungi dengan menjadikannya kawasan Konservasi Cagar alam, sehingga kawasan ini terjaga dengan baik . pohon-pohon berukuran besar dengan usia cukup tua terdapat disekitar makam yang sangat terpelihara dengan baik. Serombongan kecil penziarah tengah berada di dalam bangunan makam. Aku hanya melihat dari luar. Setelah mengetahui apa yang ada disana, aku segera meninggalkan tempat itu, tak ingin berlama-lama disana, karena terasa sangat sakral dan aku menghormati itu. Kemudian kami kembali menggayuh sepeda air kembali ke seberang. Dan pengunjung masih mewarnai siang yang mulai beranjak petang itu. Deretan toko souvenir dan oleh-oleh masih pula diramaikan oelh pembeli, yang ingin membawa buahtangan berupa kaos, ukiran , atau cenderamata lainnya.
Ketika malam tiba, cerita
tentang berbagai misteri dan mistis dari situ Lengkong pun simpang siur di
pikiranku dan pembicaraan kami di rumah tepi danau. Dan biarlah cerita-cerita
itu menjadi kisah yang diburu oleh mereka yang belum mengenal Panjalu dan jejak
wisata religi nya ini . entah itu keindahan alamnya, kesejukannya, atau kisah
seribu satu malam lainnya. Biarkan Panjalu tetap indah dalam ketenangannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar