Jumat, 30 Desember 2016

JANGAN JADIKAN UJUNG KULON SEBAGAI HABITAT TERAKHIR BADAK JAWA










Sebagai orang awam yang hanya bisa mengikuti perkembangan dari kehidupan dan keberadaan Badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon yang buat aku adalah rumah ke tiga setelah Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, aku hanya bisa menyuarakan tentang perlindungan Badak Jawa dan habitatnya melalui pesan-pesan singkat di medsos. kampanye sederhana menurutku. Dan ketika ada ajakan menggunakan Photo Profile dengan format seperti di atas aku turut mendukung meski tidak sepenuhnya paham, harapan seperti apa yang bisa aku berikan kepada mereka ikon Taman Nasional Ujung Kulon yang bernama Rhinoceros sundaicus tersebut. Apa yang dapat dilakukan untuk memberikan mereka sebuah harapan, dan harapan seperti apa?

20 tahun keluyuran keluar masuk belantara Ujung Kulon, aku belum bisa memberikan kontribusi apapun buat rumah dan tempat bermainku ini selain memperkenalkan kepada dunia luar tentang kawasan konservasi yang menjadi habitat bagi makhluk langka bernama Badak Jawa. Dengan harapan muncul kepedulian dalam bentuk apapun untuk mendukung setiap program dan upaya perlindungan terhadap Badak Jawa. Mengikuti perkembangan dan segala sesuatu tentang Badak Jawa melalui teman-teman baik itu petugas TNUK/Polhut, WWF-UjungKulon, RPU, RMU atau apapun itu, tetapi tidak mendalaminya dengan baik. Hanya sekedar tahu tanpa keinginan untuk mempelajarinya lebih jauh.

Sejak awal tahun 1996 mulai bermain di kawasan Taman Nasional, dua kali melakukan studi banding sebagai Volunteer Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan satu kali mengikuti kegiatan opsih yang dilaksanakan oleh Volunteer dan pihak TNUK pada tahun 1997, dan dua kali mengikuti patroli dan jadwal monitoring RMPU (ketika itu), selebihnya hanyalah perjalanan main-main menurutku. Seperti halnya Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, buatku Taman Nasional Ujung Kulon adalah rumah dan tempat bermain, juga tempat belajar, melalui perjalanan dan cerita atau diskusi-diskusi tanpa sadar (begitu aku menyebutnya :D ). Lebih dari itu adalah mempertahankan silaturahmi dan hubungan baik pertemanan dan kekeluargaan dengan orang-orang yang sudah aku kenal dekat, sebut saja kang Nana, kang Iwan Podol, mas Ajie WWF, kang Warca (alm), kang Ade Mirza, pak Otong, pak Mirkani adalah orang-orang yang telah banyak memberi pengetahuan dan membuka wawasanku tentang Taman Nasional Ujung Kulon. Begitupun dengan begitu banyak teman-teman lainnya, telah mengikatku pada sebuah silaturahmi yang tak pernah putus.

Terakhir meninggalkan jalur selatan sejak tahun 2005, kemudian 4 tahun berikutnya hanya menyinggahi Karang Ranjang dan beralih ke utara bermain seputaran Pulau Peucang . mengemas trip dalam bentuk ekoturisme mungkin adalah cara yang bisa aku lakukan untuk membuat orang-orang yang mengikuti trip untuk mengenal lebih jauh tentang apa itu kawasan konservasi dan kenapa harus ada Taman Nasional. Tak banyak yang bisa dilakukan karena kebanyakan orang tidak begitu antusias untuk memahami apa itu konservasi, seperti begitu susahnya mengajak pendaki yang saat ini begitu menjamur untuk paham tentang etika bermain di alam. Namun setidaknya usaha itu tetap akan dilakukan tanpa henti.


Sekian tahun tidak pernah menempuh jalur selatan, hingga di bulan desember 2016 mendadak aku harus kembali. Awalnya adalah ingin sekedar melihat seperti apa kondisi pos Karang Ranjang dan Cibunar saat ini. Kebetulan pada tanggal dimana aku akan mencapai Cibunar, pada tanggal yang sama Tim Ekspedisi Gunung Payung BTNUK-WWF yang dikomandoi oleh kang Iwan Podol turun dan akan berada di Cibunar juga. Dan bagiku ini adalah kesempatan untuk kembali belajar dan mencari tahu lebih banyak lagi tentang banyak hal yang menjadi tanda tanya di pikiranku.

Banyak perubahan yang sangat signifikan yang aku temukan sepanjang jalur Cibandawoh hingga Cibunar. Bukan pada bentukan alam, tetapi justru terkait dengan Badak Jawa. Dulu untuk menemukan jejak sang Badak sangat sulit. Bahkan di jalur utara aku dan teman volunteer TNGGP harus dibawa masuk ke dalam oleh kang Iwan untuk sekedar menemukan jejak-jejak langka Badak Jawa. Namun dalam perjalananku dari Cikeusik hingga Citadahan, bagiku sangat luar biasa menemukan jejak-jejak Badak yang masih baru, dimana terdapat dua jejak yang berjalan berdampingan tapi agak berjauhan. Dan itu adalah jejak Badak ukuran besar dan jejak Badak dengan ukuran yang lebih kecil. Ibu dan anakkah? Dan aku merasa tertipu dengan jejak-jejak yang jelas masih sangat baru itu. Kapan mereka (atau dia) lewat? Pagi sekalikah? Dan mungkin saat aku melintasi jalur Cikeusik – Citadahan itu Badak tersebut telah sampai di muara Cikeusik jauh ke dalam. Begitu pun ketika kehilangan jalur di lintasan Citadahan – Cibunar aku mengikuti jalur Banteng, dan menemukan kembali jejak Badak di antara lintasan banteng tersebut.




Dalam ketidaktahuanku, aku hanya mendengar dan memperhatikan diam-diam cerita-cerita dan diskusi-diskusi tim dan kang Iwan Podol di pos Cibunar. Hingga kemudian menemukan hal-hal lain yang membuat aku semakin ingin tahu banyak tentang segala yang berkaitan dengan Badak tersebut. Sepanjang jalur Cibunar – Cidaon banyak ditemukan jejak-jejak Badak yang masih baru, dan juga kotorannya. Mungkin apa yang ada dalam pikiranku yang awam akan berbeda dengan semua anggota tim yang memang sudah menguasai tentang kebiasaan-kebiasaan si badak bercula satu ini. Terutama Kang Iwan Podol yang memang sudah pakar dalam hal ini. Dalam pikiranku sebagai orang awam, Badak ini cukup iseng, dia mengikuti jalur patroli atau jalur manusia bukan berjalan di bagian hutan yang menjauh dari kehadiran manusia. Kemudian bentuk keisengannya adalah dia mengambil jalur yang melintasi atau memotong-motong jalur patroli atau notabene jalur manusia. Pada beberapa bagian yang merupakan tanjakan atau turunan, dia tidak mengikuti jalur patroli yang sudah terbentuk, tetapi memotong jalur yang merupakan tanjakan yang bagi manusia akan sulit untuk dilalui. Namun penjelasannya aku temui di buku Teknik Konservasi Badak Indonesia, bahwa Badak mempunyai jalur lintasan tetap berbentuk lurus dengan arah tertentu, ditempat yang makanannya berlimpah, dan fungsi jalur ini adalah merupakan koridor antara tempat mencari makan, berkubang mandi dan beristirahat.  Jika dengan beban berat tubuhnya yang sedemikian dia mampu mendaki memanjati tanjakan-tanjakan terjal itu, bukan tidak mungkin dia akan sampai ke gunung Cipayung ataupun gunung Honje. Bukan tidak mungkin.  Dan mungkin karena memiliki sifat senang menjelajah (Schenkel dan Schenkel 1969) maka wilayah pegununganpun dengan mudahnya akan mereka jelajahi tergantung jarak dari sumber pakan dan tempat berkubang.




Maka pertanyaan-pertanyaan yang timbul dan analisa aku sebagai orang awam adalah sebagai berikut :
-          Dengan ditemukan begitu banyak jejak Badak pada jalur-jalur patroli atau jalur umum, bukankah itu berarti populasinya sudah semakin bertambah?
-          Wilayah jelajahnya semakin keluar dari zona aman, memunculkan spekulasi , apakah dia merasa terbiasa dengan manusia tanpa merasa terancam, atau karena populasinya semakin meningkat, sehingga wilayah jelajah semakin luas dan ini akan tidak mencukupi.
-          Jika populasinya semakin meningkat, bagaimana dengan ketersediaan pakan? Sebagaimana diketahui dari hasil penelitian, sekitar 109 jenis tumbuhan adalah merupakan pakan Badak dan banteng, dan 62 diantaranya adalah jenis pakan yang sama dengan banteng.
-          Persaingan individu, apakah mungkin terjadi pada Badak? Jika tidak apa yang menyebabkan kecacatan yang ditemukan pada beberapa individu ?


Dan banyak pertanyaan yang muncul, yang tentunya hanya bisa dijawab oleh pihak terkait dan para ahlinya. Jawaban itu akan ditemukan sambil belajar pada tempatnya yang tepat. Namun kembali pada kisah Photo Profile yang menjadi tanda tanya, aku menemukan jawabannya sendiri. Dengan berasumsi bahwa perlindungan Badak jawa di Taman Nasional telah cukup berhasil dan meningkatkan populasi dari jumlah yang kritis menjadi jumlah yang menggembirakan. Tetapi juga akan menyedihkan jika dengan populasi yang semakin meningkat, kekurangan pakan dan lahan untuk berkembang biak dengan baik menjadi ancaman yang serius. Disinilah muncul jawabanku atas pertanyaanku sendiri terkait kalimat “ I Give Them Hope”. Ya, memberi mereka harapan baru untuk tumbuh kembangnya menuju arah yang semakin baik dan jumlah populasi yang tidak terbatas. Memberi harapan rumah baru pada mereka. Maka muncul satu kalimat di otakku yaitu “Jangan Jadikan Taman Nasional Ujung Kulon Sebagai Habitat Terakhir Badak Jawa”. Ya, beri mereka harapan bahwa mereka bisa tumbuh kembang di tempat lain di pulau Jawa, yang akan menjadi rumah mereka. Jangan batasi populasi mereka hanya di Ujung Kulon. Secara bercanda sebagai Volunteer Taman Nasional Gunung Gede pangrango, aku teringat Rhino Home yang konon ceritanya dahulu kala adalah merupakan juga habitat Badak Jawa. Aku menganggap itu sebagai gurauan hingga aku menemukan fakta bahwa Hoogerwerf (1970) telah mencatat penyebaran Badak Jawa secara vertikal, bahwa Badak jawa pada abad ke 18 hidup tersebar di Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Gede Pangrango, Gunung Slamet, Gunung papandayan dan Gunung Ciremai. Who knows? Siapa yang tahu kebenaran itu semua? Seorang Ahli tentu tidak mengada-ada membuat sebuah catatan berdasarkan penelitian dan fakta yang ditemuinya. 


Maka “I Give Them Hope”, aku memberi mereka harapan, dan berharap semua pihak juga memberi harapan yang sama. Jangan batasi populasi mereka hanya sebatas kemampuan Taman Nasional Ujung Kulon menampung dan ketersediaan pakan mereka disana. Beri mereka harapan untuk memiliki habitat baru , lahan baru untuk mengembangkan populasi mereka. Dengan melalui penelitian-penelitian tentunya akan ditemukan tempat dimana ketersediaan tumbuhan yang merupakan pakan Badak mencukupi di tempat baru tersebut, begitu pula luas wilayah jelajah dan perlindungan terhadap habitat baru tersebut bisa dijamin.  I Give Them Hope” , aku memberi mereka harapan, mari bersamamemberi mereka harapan, “Jangan Jadikan Taman Nasional Ujung Kulon Sebagai Habitat terakhir Badak Jawa

Tidak ada komentar: